harapanrakyat.com,- Kepercayaan masyarakat terhadap konten digital kini bergerak liar, menyerupai pola kepatuhan buta terhadap narasi yang diterima tanpa menggali kebenaran konteks hingga sumbernya apakah terverifikasi legal. Fenomena ini menjadi peringatan keras bagi media arus utama yang kian terpinggirkan oleh dominasi platform digital dan algoritma. Hal itulah yang menjadi bahan obrolan diskusi antara Ketua Program Studi (Kaprodi) di Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom) Unpad, S. Kunto Adi Wibowo, dengan Erix Exvrayanto, seorang wartawan liputan di Kuningan, di Bandung, Jawa Barat, Sabtu (13/12/2025).
Baca Juga: PWI Ciamis Sosialisasikan Kode Etik Jurnalistik kepada Aparat Desa di Cijeungjing
Menurut Kunto, media saat ini berisiko kehilangan kendali atas kontennya sendiri di tengah tekanan disrupsi teknologi dan kepentingan oligarki platform. Kunto menyoroti tren masyarakat yang semakin sering mengonsumsi informasi dari sumber sekunder atau platform digital tanpa otorisasi resmi.
Ia mencontohkan fenomena ini lewat film dokumenter Netflix In the Name of God: A Holy Betrayal. Meskipun film tersebut adalah karya jurnalistik investigatif, cara publik menyebarkannya kerap lepas dari konteks asli.
Hal ini menurut Kunto menunjukkan bagaimana potongan narasi bisa dipercaya secara emosional, meski informasi utuhnya tidak dipahami.
“Ditambah fenomena homeless media, konten berkualitas dari media mainstream kehilangan Ownership of News dan beredar bebas, bahkan di tangan yang salah,” ujarnya.
Di tengah banjir konten, peran Key Opinion Leader (KOL) dan influencer menjadi sangat menentukan, namun kerap disalahgunakan. Kunto menegaskan, seharusnya mereka memperkuat isu yang sedang in di media mainstream, bukan menciptakan spekulasi baru.
Dengan sinergi ini, media dapat merebut kembali Ownership of Issue, menjaga agar kredibilitas dan otoritas informasi tetap berpulang pada sumber yang teruji.
“Jika KOL dan media utama bersinergi, otoritas informasi bisa kembali ke sumber yang terpercaya,” tambahnya.
Erix Exvrayanto; Frenemy Digital dan Ancaman Oligarki Algoritma
Diskusi tersebut pun makin memanas. Erix Exvrayanto mendebat Kunto dengan pendekatan fenomena frenemy—friend and enemy (teman sekaligus musuh).
Erix menjelaskan, bahwa itu mengutip dari pernyataan Agus Sudibyo, mantan Anggota Dewan Pers yang sekarang menjabat Ketua Dewan Pengawas (Dewas) Lembaga Penyiaran Publik (LPP) TVRI.
“Bahwa yang dijalin media massa dengan platform digital. Di satu sisi, platform digital memberikan akses luas. Tapi di sisi lain, mencuri traffic dan mengancam eksistensi media melalui dan disrupsi oleh Artificial Intelligence (AI),” jelasnya.
Lantas bagaimana menurut akademisi cara mengimplementasikan ‘mediamorfosis’ teorinya Roger Fiedler?. Menurutnya, kondisi ini diperparah dugaan Agenda Setting Oligarki. “Yaitu kemampuan segelintir platform besar untuk menentukan isu yang dilihat dan didengar publik melalui kendali algoritmanya yang dimainkan oligarki. Misalkan menggunakan buzzer,” ujarnya.
Lanjut Erix Exvrayanto menambahkan, bahwa media konvensional harus mendalami dan menguasai algoritma ini. Jadi tidak hanya sebagai alat distribusi, tetapi sebagai kunci untuk melawan disrupsi.
“Tapi kan harus punya kekuatan modal besar mempekerjakan SDM andal. Sementara ‘kue’ atau iklan direct sekarang lebih besar diperuntukan bagi KOL dan influencers,” ujarnya.
Komunitas dan Kolaborasi Akademik
Mengomentari pernyataan Erix Exvrayanto, Kunto menegaskan, bahwa solusi berada pada kekuatan sosial, yakni komunitas dan kolaborasi akademik. Menurut Kunto, media harus membangun engagement community, agar loyalitas dan kepercayaan pembaca tidak mudah dicuri algoritma.
Kolaborasi dengan akademisi juga memperkuat jurnalisme investigatif dan memastikan konten memiliki basis EEAT—Expertise, Experience, Authoritativeness, Trustworthiness. Pendekatan ilmiah ini menjadi fondasi krusial bagi media di era digital.
“Ditekankannya pula peran media sebagai pilar keempat demokrasi. Mengutip Teori Agenda Setting, media menentukan isu yang dianggap penting publik, meski bukan cara berpikir mereka,” ujarnya.
Lebih lanjut Kunto menambahkan, bahwa platform digital bukan musuh mutlak, tetapi alat yang harus dikendalikan dengan etika dan visi redaksional. Media yang mampu mempertahankan kekuatan sosialnya akan tetap menjadi pilar keempat demokrasi yang tangguh.
“Media harus beradaptasi tanpa kehilangan jati diri, berkolaborasi tanpa kehilangan independensi, dan memanfaatkan teknologi tanpa menyerahkan agenda publik sepenuhnya pada algoritma,” tegasnya.
Baca Juga: Hadapi Era Multi Platform, ATVSI dan Unpad Kaji RUU Penyiaran di Sumedang
Adaptasi media bukan sekadar soal bertahan hidup, tetapi menjaga fungsi kritisnya: menyeimbangkan kekuasaan dan mencegah dominasi narasi oleh platform digital dan AI.
“Media wajib punya kekuatan sosial, maka akan menjadi pilar keempat demokrasi yang tangguh,” tutup Kunto, menegaskan pentingnya kekuatan komunitas dan kredibilitas dalam mempertahankan peran pers di era digital. (Adi/R5/HR-Online)

2 hours ago
2

















































