Tragedi 1965 di Padang Halaban menjadi kejadian yang tidak kalah keji setelah terjadinya peristiwa G30S/PKI. Dalam sejarah PKI ini, negara menangkap bahkan membunuh warga karena mencurigainya sebagai anggota PKI. Padahal mereka juga memiliki tujuan lain dengan memanfaatkan kejahatan komunis tersebut yaitu untuk mengambil lahan pertanian warga.
Baca Juga: Penyebab Kematian DN Aidit, Eksekusi Mati di Balik Peristiwa G30S PKI
Mengingat Tragedi 1965 di Padang Halaban
Padang Halaban adalah kawasan perkebunan sawit yang memiliki riwayat dan sejarah cukup panjang serta kompleks. Pada tahun 1942 ketika Jepang datang ke Tanah Indonesia, warga mulai mengambil lahan yang sebelumnya dikuasai Eropa. Hingga tahun 1945 warga terus melakukan penguasaan lahan secara bertahap dan puncaknya setelah Indonesia merdeka.
Warga berhasil merebut lahan seluas 3.000 hektare yang kemudian mendirikan enam desa sebgai tempat tinggal. Di desa tersebut, kehidupan masyarakat mulai terbentuk dan membaik apalagi setelah berfungsinya jalur kereta api. Bahan desa-desa tersebut kemudian juga turut berperan dalam rantai distribusi pangan di Sumatera Utara.
Pada tahun 1954, pemerintah lokal kemudian mengeluarkan KTPPT atau Kartu Tanda Pendudukan Pendaftaran Tanah untuk warga. Kartu tersebut menjadi bukti bahwa warga benar-benar memiliki lahan di Padang Halaban tersebut secara legal. Namun kepemilikan lahan tersebut hanya bertahan satu dekade sebab setelahnya warga kehilangannya dengan paksa.
Terjadinya Tragedi 1965
Sebagai buntut tragedi G30S PKI tahun 1965, warga di Padang Halaban menerima dampak yang sangat merugikan. Mereka kehilangan nyawa dan tanah secara paksa oleh negara lewat militer dengan memanfaatkan kejahatan komunis. Kejahatan tersebut menjadi trauma dan duka tersendiri yang masih menghantui hingga saat ini bagi para korban.
Baca Juga: Sejarah DN Aidit Sosok Besar Pimpinan PKI
Usai kejadian G30S PKI, negara melakukan operasi militer untuk menumpas PKI hingga ke akar-akarnya. Pada saat itu juga, warga Padang Halaban menerima imbasnya padahal mereka tidak melakukan kesalahan. Tanah-tanah mereka diambil oleh negara lewat militer dengan memanfaatkan sentimen PKI di antara warga.
Taktik Licik Militer untuk Merebut Tanah
Dalam praktik perampasan tanah ini, PKI setidaknya menggunakan beberapa metode yang hanya merugikan warga. Pertama, aparat militer menarik KTPPT yang menjadi bukti kepemilikan lahan milik warga dengan dalih akan melakukan pembaharuan. Jika warga memilih menolak maka taktik kedua, aparat akan menuduhnya menjadi anggota PKI dan menahannya.
Taktik ketiga dalam tragedi 1965 di Padang Halaban ini, aparat akan menahan warga hingga mereka menyerahkan KTPPT. Setelah mendapatkan KTPPT maka langkah keempat aparat tidak akan pernah mengembalikannya pada warga bahkan memusnahkannya. Setelah kejadian tersebut pada tahun 1969 hingga 1970 mulai terjadi penggusuran warga secara paksa.
Karena tragedi tersebut banyak warga kehilangan rumah dan tanah yang sudah mereka miliki selama bertahun-tahun. Tidak sedikit pula yang kehilangan anggota keluarga karena tertuduh menjadi antek PKI hingga akhirnya hilang. Kehidupan warga Padang Halaban yang sebelumnya damai telah berubah menjadi sengsara secepat kedipan mata.
Tanah Rampasan Dikelola Oleh Pengusaha
Tanah rampasan tragedi 1965 di Padang Halaban ini kemudian diserahkan pada perusahaan Plantagen Aktiengeschlischaft (Plantagen AG). Tahun 1972, Plantagen AG mengajukan Hak Guna Usaha atau HGU pada lahan seluas lebih dari 5.000 hektare. Lahan tersebut mencakup 3.000 hektare yang sebelumnya merupakan permukiman 6 desa.
Dalam pencatatan hukum sendiri ternyata bukan Plantagen AG yang mengendalikan HGU atas tanah di Padang Halaban. Akan tetapi pengendali Hak Guna Usaha tersebut adalah PT Maskapai Perkebunan Sumcama Padang Halaban. Perusahan tersebut adalah bagian dari bisnis Sinar Mas lewat Golden Agri Resources di bidang industri kelapa sawit.
Saat itu, selama masa kekuasaan Soeharto masyarakat yang menjadi korban terpaksa tunduk dalam mencari keadilan. Namun tahun 1988 setelah lengsernya jabatan Soeharto, mereka pun mulai menuntut keadilan untuk mengembalikan lahan mereka. Perlawanan mereka pun terus tumbuh dan menjalar meskipun tidak pernah menjadi hal yang mudah.
Baca Juga: Sejarah Letkol Untung, Dalang di Balik Tragedi G30S/PKI
Tragedi 1965 di Padang Halaban masih menyisakan duka dan ketidakadilan bagi para penyintas serta keturunannya. Berbagai upaya telah mereka lakukan untuk mendapatkan keadilan namun hasilnya tetap tak kunjung memuaskan. Banyak penyintas masih berduka karena kehilangan keluarganya yang di bawa militer dan tak pernah kembali. Tragedi 1965 di Padang Halaban pada akhirnya menjadi sejarah kelam pelanggaran HAM yang berat sehingga wajib menjadi sorotan. (R10/HR-Online)

4 hours ago
6

















































