Sejarah bahasa Ngapak memiliki makna yang mendalam bagi masyarakat Jawa, terutama di wilayah Banyumas, Jawa Tengah. Perjalanan historisnya telah membentuk eksistensinya hingga saat ini, menjadikannya sebagai salah satu identitas budaya khas daerah tersebut.
Meskipun pengucapannya terkesan lucu, namun penggunaannya kini justru menjadi trend berkat peran selebriti dan influencer yang sering menggunakannya di layar kaca maupun media sosial. Akibatnya, banyak orang menirukan logat dialek Banyumasan tersebut untuk sarana konten hiburan.
Baca Juga: Bahasa Arab ke Indonesia, Sejarah Perkembangan dan Pengaruhnya
Untuk mengetahui lebih dalam terkait sejarah bahasa yang pernah terancam punah ini, maka simak ulasan selengkapnya dalam artikel berikut.
Perjalanan Sejarah Bahasa Ngapak dan Ciri Khasnya
“Nyonge Kencot,” ucap mantan Presiden Joko Widodo menirukan ucapan seorang bocah pada sebuah acara di Jawa Tengah 2017 silam. Banyak hadirin yang tertawa mendengar ucapan Pak Jokowi tersebut mengingat intonasinya yang mengundang gelak tawa.
Meskipun beberapa kosakatanya mempunyai kemiripan dengan bahasa Jawa, namun ternyata bahasa ini memiliki ciri khas berbeda dengan pengucapan dalam bahasa Jawa. Melansir dari buku Herusasoto (2008), ciri khas utama pengucapan bahasa Banyumasan ini adalah belepotan (campur aduk, tidak karuan), dan pating pecotot (terburai).
Selain pengucapannya banyak dominasi huruf ‘a’, dalam buku Saptono (2014) menjelaskan terdapat beberapa ciri khas bahasa Ngapak antara lain:
1. Berkarakter lugu dan terbukti.
2. Tidak terdapat tingkatan hierarki seperti dalam bahasa Jawa (krama, madya, dan krama alus/inggil).
3. Merupakan bahasa utama oleh mayoritas masyarakat Banyumas.
4. Mendapat pengaruh unsur-unsur dari bahasa Jawa Kuno, Jawa Tengahan, dan bahasa Sunda.
5. Pengucapan konsonan di akhir kata sangat jelas.
6. Pengucapan vokal a, i, u, e, o sangat jelas.
Perjalanan sejarah bahasa Ngapak tidak terlepas dari Bahasa Jawa yang memang pada awalnya memiliki kemiripan dengan Ngapak yang tidak mengenal strata. Untuk lebih jelasnya simak ulasan di bawah ini.
Sejarah Awal Kemunculan
Sejarah bahasa Ngapak bermula dari zaman Majapahit karena Banyumas merupakan salah satu daerah kekuasaan Majapahit yang berbatasan dengan Pasir Luhur dan Pajajaran.
Dahulu kala, sebelum muncul sistem keraton, tidak ada perbedaan antara bahasa Jawa Krama dan Ngoko. Artinya, pada zaman dahulu, bahasa Jawa mirip seperti bahasa Ngapak yang tidak mengenal tingkatan (strata). Akan tetapi, hal tersebut berubah sejak keratonan Jawa mulai muncul.
Saat itu, kalangan wong Banyumasan sendiri memberikan sebutan untuk bahasa Jawa wetanan daerah Jawa Tengah bagian timur, Yogyakarta, dan Jawa Timur sebagai bahasa bandhekan yang berasal dari kata “gandhek”.
Baca Juga: Asal Usul Bahasa Indonesia dan Sejarahnya
Gandhek memiliki arti pangkat dari pendamping raja. Bernama bandhekan karena cara bicaranya hampir berbisik-bisik. Hal ini cukup beralasan karena gandhek harus selalu mendampingi raja, maka penggunaan bahasa ini tumbuh menjadi kebiasaan di kalangan keraton.
Bahasa Bandhekan Menarik Perhatian Sultan Hadiwijaya
Sejarah bahasa Ngapak juga bermula dari ketertarikan Sultan Hadiwijaya selaku raja Kerajaan Pajang yang menyukai bahasa bandhekan tersebut. Beliau menganggap, bahasa bandhekan mempunyai esensi yang tinggi karena dalam pengucapannya yang lembut dan sopan. Tutur kata yang lembut ini mampu menghentikan sejenak emosi seseorang kala menghadapi kemarahan besar.
Sama halnya seperti sikap gandhek yang harus mendampingi raja setiap saat. Oleh karena itu, Sultan Hadiwijaya memutuskan bahwa bahasa bandhekan menjadi bahasa resmi Kerajaan Pajang. Hal ini berlaku untuk semua penghuni kerajaan maupun masyarakat pada umumnya.
Masyarakat Banyumas Menolak Mengikuti Perintah Raja
Sejarah bahasa Ngapak menemui titik penting kala masyarakat Banyumas menolak perintah raja untuk memakai bahasa bandhekan tersebut. Mereka menolak budaya feodal yang menggunakan bahasa halus dengan mengagungkan jabatan lebih tinggi sehingga mengurangi kebebasan rakyat dalam bersikap.
Mereka tidak menginginkan suasana keakraban antar masyarakat Banyumas terganggu. Hal tersebut yang membuat wong Banyumasan mempertahankan prinsip egaliter, yakni menganggap semuanya setara dan tidak mudah tunduk pada orang asing.
Selain itu, masyarakat Banyumas berada jauh dari pusat keraton, sehingga pengaruh budaya feodal tidak terlalu kuat terasa di wilayah tersebut.
Baca Juga: Sejarah Kerajaan Salakanagara, Leluhur Suku Sunda yang Dianggap Mitos
Inilah perjalanan sejarah bahasa Ngapak yang hampir terancam punah karena perintah raja Kerajaan Pajang. Sejatinya, bahasa Jawa saat ini pada awalnya sama dengan bahasa Ngapak yang tidak mengenal tingkatan. Oleh karena itu, dapat menarik kesimpulan bahwa bahasa Ngapak Banyumas inilah yang merupakan cikal bakal dari bahasa Jawa. Keberadaannya patut untuk kita lestarikan karena memiliki nilai sejarah dan budaya yang bermakna dalam melawan sistem feodalisme. (R10/HR-Online)