Di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, terdapat sebuah situs bersejarah yang menyimpan kisah cinta dan peperangan. Tempat itu populer sebagai makam Ratu Harisbaya yang terletak di Kompleks Makam Prabu Geusan Ulun, di puncak Gunung Rengganis, Desa Dayeuhluhur, Sumedang. Kawasan ini menjadi salah satu destinasi ziarah dan wisata religi dan sejarah yang ramai oleh pengunjung.
Baca Juga: Goa Peteng Pangandaran, Situs Penting dari Zaman Prasejarah
Makam Ratu Harisbaya, Pesona Sejarah di Tanah Sumedang
Udara di sekitar makam terasa sejuk dan tenang. Pepohonan rindang mengelilinginya, menciptakan suasana damai bagi siapa pun yang datang. Dari Alun-alun Sumedang, jaraknya sekitar 11 kilometer menuju Dayeuhluhur. Meskipun jalannya menanjak dan berkelok, aksesnya kini sudah cukup baik dengan jalan beton dan aspal yang terawat.
Makam ini tidak hanya menjadi tujuan wisata religi. Tempat ini juga menyimpan jejak penting sejarah Kerajaan Sumedang Larang. Kerajaan tersebut merupakan penerus Kerajaan Pajajaran di tanah Sunda. Nilai sejarahnya menjadikan makam ini tempat yang layak dikunjungi dan dikenang.
Kisah Cinta yang Mengubah Sejarah
Ratu Harisbaya terkenal sebagai permaisuri Prabu Geusan Ulun, Raja Sumedang Larang yang memerintah sekitar abad ke-16 hingga awal abad ke-17. Namun sebelum itu, Harisbaya adalah istri Panembahan Ratu, penguasa Cirebon. Kisahnya bermula ketika cinta lama bersemi kembali antara Harisbaya dan Geusan Ulun. Mereka dulunya sempat menjadi kekasih semasa muda.
Perjumpaan itu terjadi saat Geusan Ulun berkunjung ke Cirebon setelah pulang dari Pajang dan Demak. Dalam suasana nostalgia, keduanya kembali jatuh cinta. Harisbaya kemudian memohon agar dibawa ke Sumedang. Permintaan itu mengundang bencana besar. Panembahan Ratu murka dan mengirim pasukan untuk menyerbu Sumedang.
Baca Juga: Gedung Landraad Indramayu Peninggalan Bersejarah yang Jadi Cagar Budaya
Peperangan pun pecah antara dua kerajaan Sunda yang dulunya bersahabat. Sejarawan mencatat peristiwa ini terjadi sekitar tahun 1585 Masehi, sebagaimana tertulis dalam Pustaka Kertabhumi I/2. Dari sinilah nama makam Ratu Harisbaya menjadi simbol kisah cinta yang mengguncang dua kerajaan besar di tanah Sunda.
Pemindahan Ibu Kota dan Akhir Riwayat Sumedang Larang
Setelah peperangan dengan Cirebon, Prabu Geusan Ulun mengambil langkah strategis dengan memindahkan pusat pemerintahan dari Kutamaya ke Dayeuhluhur. Lokasi di puncak Gunung Rengganis dianggap lebih aman karena merupakan benteng alam yang sulit ditembus musuh. Di tempat inilah sang raja dan Ratu Harisbaya akhirnya menetap hingga akhir hayat mereka.
Menurut Juru Kunci Kompleks Pemakaman Dayeuhluhur, Nono Sutisna, kawasan ini dahulu bernama Kampung Rengganis. Dalam bahasa Sunda, “Rengganis” berarti elok dan tenang. Sesuai dengan suasana spiritual yang masih terasa hingga kini.
Di kompleks ini terdapat 11 makam penting, termasuk makam Ratu Harisbaya, makam Prabu Geusan Ulun, serta makam putra mereka, Raden Suriadiwangsa atau Rangga Gempol I. Jarak antara kuburan Ratu Harisbaya dan makam Prabu Geusan Ulun sekitar 100 meter.
Warisan Budaya
Kini, makam tersebut menjadi salah satu situs Cagar Budaya Sumedang. Banyak peziarah datang dari berbagai daerah untuk berdoa dan mengenang perjuangan para leluhur. Mereka tidak hanya mencari ketenangan batin, tetapi juga ingin memahami sejarah panjang yang membentuk identitas masyarakat Sunda.
Pemerintah daerah telah melakukan penataan di area pemakaman sejak tahun 2012 silam. Tujuannya ialah agar pengunjung dapat berziarah dengan nyaman. Fasilitas seperti lahan parkir, warung kecil, serta jalur tangga menuju puncak kini tersedia.
Selain itu, kawasan Dayeuhluhur juga menyimpan nilai spiritual tinggi. Banyak warga percaya bahwa tempat ini memiliki energi positif. Konon energi tersebut berasal dari doa dan laku hidup para tokoh besar yang dimakamkan di sana.
Menyusuri Jejak Sejarah dan Cinta Abadi
Mengunjungi makam ini bukan sekadar ziarah, tetapi juga perjalanan menelusuri sejarah dan cinta yang abadi. Dari kisah asmara antara Harisbaya dan Prabu Geusan Ulun, kita belajar bahwa cinta bisa menjadi kekuatan sekaligus ujian besar bagi seorang pemimpin. Makam ini juga menjadi saksi bisu berakhirnya masa kejayaan Sumedang Larang.
Setelah Geusan Ulun wafat pada tahun 1610, kerajaan tersebut akhirnya bergabung dengan Kesultanan Mataram Islam. Putra Ratu Harisbaya, Raden Suriadiwangsa, kemudian menjadi wakil Mataram di wilayah Priangan. Hingga kini, setiap pengunjung yang datang ke puncak Gunung Rengganis bisa merasakan aura sejarah yang kental.
Baca Juga: Sejarah Pulo Geulis Bogor, Jejak dari Padjadjaran Menuju Harmoni Multikultural
Di balik keheningan kompleks makam, masih terasa kuat kisah cinta, pengorbanan, dan kebijaksanaan masa lampau. Makam Ratu Harisbaya bukan hanya tempat peristirahatan terakhir seorang permaisuri, tetapi juga simbol perjalanan panjang sejarah Sunda. Dari cinta yang berujung perang, hingga damai yang lahir dari penyesalan, semua tertulis di tanah Dayeuhluhur. Bagi siapa pun yang berkunjung ke Makam Ratu Harisbaya, tak hanya keindahan alam yang ditemukan, melainkan juga pelajaran tentang kesetiaan, keberanian, dan takdir yang tak bisa dielakkan. (R10/HR-Online)