Para peneliti dari Indonesian Parliamentary Center (IPC) menyoroti adanya ketimpangan kekuatan di bidang politik di kursi parlemen yang berpotensi melemahkan demokrasi negara Indonesia.
Dalam diskusi publik kemarin, peneliti IPC Arif Adiputro mengungkapkan hasil penelitiannya di tahun 2024 ini.
Dalam pemilu serentak, kata Arif, seharusnya bisa menjadi jalan untuk mendistribusikan kekuatan politik, terutama di parlemen.
Akan tetapi faktanya justru berbeda, yakni dinamika politik yang terjadi malah belum mampu dalam memperkuat check and balances atas kesetaraan kekuasaan antar para aktor yang ada di Parlemen.
Baca juga: Peneliti Dorong DPR RI Perlu Prioritaskan Kebijakan Energi Terbarukan
“Faktanya, koalisi pemerintah di kita cenderung berkeinginan membangun dukungan lewat KIM Plus. Sehingga, ini berimplikasi terhadap kekuatan koalisi yang seharusnya menjadi penyeimbang malah semakin melemah,” terangnya.
Dari data yang ia ungkapkan, setidaknya koalisi pemerintah punya 68,9 persen jumlah kursi yang ada di Parlemen. Sedangkan koalisi di luar pemerintah hanya mencapai 31,1 suara yang ada di Parlemen.
Marak Pergantian Caleg
Arif mengungkapkan, pihaknya menemukan setidaknya ada 51 kasus penggantian caleg. Apalagi penggantian itu untuk mereka terpilih sebelum menjalankan proses pelantikan DPR.
Dari data tersebut, 68,8 di antaranya dengan alasan mengundurkan diri. Kemudian, 11,8 persen sisanya karena keputusan partai yang memberhentikan caleg terpilih tersebut.
Adapun alasannya, mereka yang mundur itu karena mencalonkan dalam Pilkada 2024 sebanyak 20 cagub, 7 cabup, 2 cawalkot dan 8 orang yang menempati sebagai menteri.
Kemudian untuk yang kasus diberhentikan partai dengan alasan yang kurang jelas sebanyak 6 kasus.
“Ini menunjukkan bagaimana kekuasaan parpol atas anggotanya begitu besar, terutama dalam representasinya di parlemen,” terangnya.
Selain itu, IPC juga menyoroti beberapa temuan terkait kinerja DPR RI, mulai dinamika partai dalam Alat Kelengkapan Dewan (AKD), dan pelaksanaan fungsi DPR yang menunjukkan ketidakseimbangan political power.
Pada masa sidang I tahun sidang 2024-2025, jelas Arif, terdapat 166 kali rapat. Rinciannya, Rapat Kerja 62 kali, Rapat Dengar Pendapat 57 kali, Rapat Internal 20 kali, dan Rapat Dengar Pendapat Umum 16 kali.
Karena ini, menurutnya pada masa ini DPR masih fokus pada pelaksanaan fungsi pengawasan daripada fungsi anggaran dan legislasi.
Stabilitas Sistem Politik Terancam
Selanjutnya, IPC juga mengcluster instruksi DPR kepada mitra kerjanya saat rapat pengawasan cenderung lemah dengan persentase 67%.
Karena ini, ia menilai koalisi non pemerintah tidak dapat memaksimalkan peran penyeimbang terhadap kekuatan koalisi pemerintah. Padahal dalam konteks demokrasi, kekuatan oposisi memiliki peran penting untuk peningkatan kualitas.
Kemudian, di awal masa kerjanya, fraksi, Komisi, hingga DPR secara kelembagaan tidak menunjukkan keberpihakan pada rakyat secara serius, atas sejumlah kasus.
Seperti halnya kenaikan PPN 12%, kasus PIK 2, penggusuran warga Rempang, dugaan keterlibatan aparat dalam pilkada 2024, wacana Pemilihan Kepala Daerah melalui DPRD, dan lain-lain menjadi contoh kurang berpihaknya DPR terhadap rakyat.
“Salah satu faktor yang menyebabkan disfungsi ini adalah tidak berimbangnya kekuatan check and balances pemerintah di DPR,” tegasnya.
Dari 8 fraksi yang ada di DPR, kata Arif, 6 di antaranya adalah pendukung pemerintah. Sehingga, persentasenya kekuatan pemerintah di DPR sebanyak 68,9 persen.
Dengan jumlah ini, sangat mudah bagi pemerintah untuk menjalankan kebijakannya, tanpa pengawasan berarti dari DPR.
Meski Ketua DPR dari PDIP, namun tidak serta-merta lembaga ini dapat menjalankan perannya dengan baik. Sebab, besarnya kekuatan pendukung pemerintah, memungkinkan upaya politis yang bisa menggoyang posisi ketua DPR, misalnya melalui perubahan UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
“Maka dari itu, jika DPR dilemahkan seperti ini, maka legitimasi dan stabilitas sistem politik secara keseluruhan ikut terancam dan membuka peluang bagi dekonsolidasi demokrasi,” imbuhnya.
Dari berbagai temuan ketimpangan kekuatan politik di atas, pihaknya pun menyuguhkan alternatif untuk bagaimana caranya menyeimbangkan political power ini.
“Caranya adalah dengan membuka selebar-lebarnya kanal partisipasi untuk publik serta kebebasan berpendapat. Kemudian, anggota DPR juga harus mau menerima serta mengolah aspirasi dari publik dengan mengedepankan transparansi dan akuntabilitas,” pungkasnya. (Muhafid/R6/HR-Online)