Asa Pelaku UMKM Festival Perahu Bidar 2025 Palembang di Tengah Perkembangan Teknologi  

3 hours ago 5

harapanrakyat.com,- Suara sirine dan sorak sorai ribuan penonton Festival Perahu Bidar 2025 di tepi Sungai Musi Palembang mulai perlahan mereda seiring terdengar suara adzan dzuhur. Puluhan pendayung yang baru selesai berlomba adu kecepatan di festival itu pun perlahan kembali dari bawah Jembatan Ampera ke lokasi star di Ex Dermaga Ferry 35 Ilir yang tak jauh dari Jembatan Musi 6. 

Di tengah kencangnya angin Sungai Musi dan teriknya matahari siang yang begitu menyengat, tak membuat antusiasme penonton meredup, mulai dari anak-anak hingga orang tua. Mereka tampak berebut tempat di pinggir sungai untuk bisa menyaksikan langsung festival yang selalu digelar setiap tanggal 17 Agustus. Bahkan, seorang ibu tengah menggendong bayinya yang masih menyusu di perahu terlihat sesekali menoleh ke arah sungai seolah tak ingin tertinggal momen apa yang terjadi di sungai yang memiliki julukan Batanghari Sembilan itu. 

Adu kecepatan perahu bidar di Sungai Musi Palembang yang berlangsung setiap 17 Agustus. Foto: Muhafid/HR

Setelah beberapa saat, suara sirine kembali menderu dan puluhan perahu tampak melaju mengiringi 3 perahu bidar yang tengah beradu kecepatan. Teriakan para pendukung di pinggir sungai bercampur raungan suara mesin perahu menciptakan suasana makin ramai. 

Baca juga: Sejarah Pembangunan Jembatan Ampera, Ikon Kota Palembang

Tak hanya di sungai, di daratan pun tak kalah riuh. Ribuan pengunjung silih berganti menyusuri area sekitar Benteng Kuto Besak. Jalanan menuju panggung utama pun penuh dengan aroma makanan khas lokal. Para pelaku UMKM, mulai dari minuman, kuliner khas, hingga mainan, berderet memenuhi jalur-jalur kecil menuju lokasi utama festival yang dipagar besi. Mereka bukan hanya pedagang, tapi bagian dari denyut nadi festival.

Festival Perahu Bidar dan Tradisi yang Melekat Bagi Warga

Di tengah hiruk-pikuk perayaan hari kemerdekaan ikonik bagi Kota Palembang ini, ada juga perlombaan asa dan nasib bagi para pelaku UMKM seperti halnya Ismiarti. Di pojok jalan belakang Bekangdam III Sriwijaya, persis di simpang tiga menuju Benteng Kuto Besak, perempuan 57 tahun itu tampak setia menanti pembeli di lapak aneka minuman kemasannya.

Bagi Ismiarti, festival tahunan ini adalah momen penting. Sudah hampir 10 tahun ia berjualan di titik yang sama, menyaksikan pergantian musim dan keramaian yang silih datang dan pergi. Festival Bidar Tradisional ini selalu menjadi momen yang ia tunggu. “Kalau tidak ada kegiatan, sepi. Tapi sekarang cukup lumayan. Alhamdulillah,” kata Ismiarti sambil tersenyum.

Namun, senyumnya itu sedikit meredup ketika ia mengungkapkan kondisi sebenarnya. Keramaian tahun ini tak seramai tahun-tahun sebelumnya. “Mungkin karena sekarang yang berdagang semakin banyak,” ucapnya dengan nada lirih, seolah tersirat ketatnya persaingan di antara para pencari rezeki di Bumi Sriwijaya.

Meski begitu, ia tak putus asa. Dengan omzet harian antara Rp 500 ribu hingga Rp 700 ribu selama festival berlangsung selama tiga hari itu, ia bersyukur karena masih bisa menutup biaya sewa lapak, penitipan barang dagangan, dan membawa pulang cukup uang untuk kebutuhan keluarga. Prinsip Ismiarti berjualan pun sederhana, harga tetap sama, tak perlu aji mumpung karena ada festival.

Di tengah gempuran teknologi yang makin maju, Ismiarti mengaku ketika pembeli menyodorkan ponsel untuk membayar non tunai menggunakan QRIS, ia hanya bisa menggeleng pelan. “Saya tahu itu (QRIS) dan banyak yang menanyakan, tapi kan saya tidak punya HP. Cash aja lah sama saya,” kata perempuan asal Cengkareng, Jakarta Barat itu. Baginya, transaksi tunai adalah satu-satunya yang paling realistis.

Bergeser dari lapak Ismiarti, aroma tradisi yang berbeda terpancar jelas dari dagangan Mala (35). Perempuan dari Desa 9-10 Ulu, Kecamatan Jakabaring menjual Telo Abang, mainan khas Palembang berbentuk perahu mini yang warna-warni.

Mala (35), penjual Telo Abang, mainan tradisional khas Palembang. Foto: Muhafid/HR

Bagi Mala, berjualan di Festival Bidar bukan hanya sekadar mencari untung, melainkan sebuah panggilan jiwa. Bahkan ia mengaku sudah melakoni profesi ini sejak SD, meneruskan jejak orang tuanya. “Ini bukan pekerjaan utama, saya ibu rumah tangga biasa,” akunya. 

Baca juga: Sejarah Peristiwa Pertempuran Palembang 1942

Di balik dedikasinya menjual mainan khas lokal, Mala sejak bulan Mei 2025 sudah sibuk merakit Telo Abang. Lima hingga sepuluh buah per hari, hingga terkumpul sekitar 200 buah yang siap ia jual seharga Rp 20 ribu per buahnya. Namun ketika festival usai, ia akan kembali ke peran utamanya, mengurus anak dan keluarga.

Sama seperti halnya Ismiarti, dunia digital juga terasa cukup jauh bagi Mala. Transaksi di lapaknya masih mengandalkan lembaran rupiah yang berpindah tangan. QRIS masih belum menjadi pilihan, namun Telo Abang buatannya tetap laris manis diburu anak-anak sebagai buah tangan khas festival.

Adaptasi Digital dan Optimisme Pelaku UMKM

Kontras dengan Ismiarti dan Mala, Endah, seorang pelaku UMKM dari Jalan Angkatan 66 Palembang menunjukkan potret lain dari ekonomi kerakyatan, ia adaptif dan inovatif. Saat berbincang dengan Harapan Rakyat, ia tampak begitu bersemangat menjelaskan konsep dagangan yang mengusung kuliner khas Makassar dan Palembang. 

“Sebagai pelaku UMKM, kita harus cepat bergerak melihat peluang, terutama di kegiatan seperti ini,” ujar perempuan asli Jawa Tengah itu.

Prinsip itu ternyata terbukti manjur. Bahkan sebelum tiba di puncak acara festival, dagangannya sudah ludes. Dari 15 hingga 17 Agustus selama festival, sejak pagi buta ia sudah menyiapkan lapak dagangannya menyambut para pembeli dan pulang ketika pengunjung sepi. Meski ia merasakan adanya sedikit penurunan jumlah pembeli dari tahun sebelumnya, Endah masih tetap optimis.

Endah, pelaku UMKM di Festival Perahu Bidar 2025 yang menjual makanan khas Palembang dan Makassar. Foto: Muhafid/HR

Baginya, kunci UMKM bisa bertahan adalah adaptasi dengan teknologi, termasuk dalam hal pembayaran. Di lapaknya, sebuah kode QRIS terpampang jelas untuk mereka yang membeli dan tidak membawa uang tunai. “Pakai QRIS itu lebih mudah, cepat, dan anti kecopetan. Praktis sekali,” jelasnya sambil tersenyum.

Endah harap kegiatan seperti Festival Bidar ini bisa terus menjadi momen bagi para pelaku UMKM agar bisa terus berkembang. “Semoga perputaran ekonomi makin baik, dan kami para pedagang kecil ini bisa terus terbantu,” harapnya.

Upaya Pemerintah Dongkrak Ekonomi Daerah

Kisah tiga perempuan tangguh ini adalah contoh kecil dari ekosistem ekonomi yang coba didorong Pemerintah Kota Palembang. Kabid Destinasi dan Industri Pariwisata, Khairul Anwar atau Irul Bae menjelaskan, Festival Bidar Tradisional Palembang telah masuk ke dalam Karisma Event Nusantara (KEN), menjadikannya salah satu dari 110 event unggulan di Indonesia.

Ia mengungkapkan, festival ini bukan sekadar ajang lomba dayung semata. “Kami di dinas pariwisata ini pemantik untuk empat hal, yakni pajak hotel, restoran, parkir, dan hiburan. Ibaratnya, dinas pendapatan yang menyiapkan umpan, kami yang mendatangkan ikannya,” jelas Khairul singkat.

Wali Kota Palembang Ratu Dewa di sela-sela wawancara dengan tim ABC Intenational Development dan awak media. Foto: Muhafid/HR

Wali Kota Palembang, Ratu Dewa menambahkan, dari total sekitar 93.700 UMKM di Palembang, yang terlibat memang hanya sebagian kecil saja, namun dampaknya sangat begitu terasa. Bahkan peningkatannya cukup signifikan, capai 60 persen.

“Kami terus berkolaborasi, tidak hanya dengan Bank Indonesia (BI) untuk digitalisasi seperti QRIS, tetapi juga dengan BUMN dan swasta,” kata Ratu Dewa.

Ia menyadari bahwa mengoptimalkan potensi ekonomi Sungai Musi adalah sebuah proses jangka panjang yang memerlukan regulasi dan kerja sama banyak pihak. Namun, melalui festival inilah, denyut nadi ekonomi kerakyatan di Palembang terus dipompa. (Muhafid/R6/HR-Online)

Read Entire Article
Perayaan | Berita Rakyat | | |