Kearifan lokal Cingcowong merupakan tradisi meminta hujan yang berasal dari Luragung Landeuh, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Tradisi ini bertujuan memohon kepada Tuhan agar hujan turun saat kemarau panjang.
Baca Juga: Mengenal Abid Banaspati dari Kota Banjar, Seni Permainan Api yang Masih Lestari
Sebagai warisan budaya, Cingcowong dilaksanakan oleh masyarakat setempat secara turun-temurun. Hingga saat ini, tradisi ini masih lestari sebagai bentuk penghormatan terhadap alam dan keyakinan akan kekuatan doa bersama dalam mengatasi kesulitan lingkungan.
Sejarah dan Nilai Budaya dari Kearifan Lokal Cingcowong
Tradisi Cingcowong memiliki hubungan erat antara manusia dengan alam sekitar. Ritual ini menjadi salah satu bentuk permohonan kepada Sang Pencipta supaya hujan lekas turun mengakhiri musim kemarau yang panjang.
Selain merepresentasikan nilai spiritual, Cingcowong juga erat kaitannya dengan nilai sosial budaya. Berikut ini sejarah singkat dari tradisi Cingcowong di Kuningan:
Definisi Secara Harfiah
Kearifan Lokal Cingcowong berasal dari dua kata: cing dan cowong. Dalam Kamus Bahasa Indonesia-Sunda, kata cing mempunyai arti yang sama dengan cik, yaitu “coba”.
Sementara itu, kata cowong dalam bahasa Indonesia berarti “biasa berbicara keras”. Secara bahasa, Cingcowong memiliki makna sebagai “biasa berbicara keras”.
Namun, ada juga interpretasi lain yang menyebutkan bahwa kata cing berarti “teguh” atau “terka” dalam bahasa Indonesia. Sedangkan cowong merupakan singkatan dari wong, yang dalam bahasa Jawa berarti “orang”.
Dengan demikian, Cingcowong dapat pula diartikan sebagai “coba terka siapa orang ini”. Penamaan ini memiliki kaitan erat dengan bahasa sehari-hari yang digunakan oleh masyarakat Desa Luragung, Kuningan.
Bahasa mereka merupakan campuran dari bahasa Jawa dengan Sunda. Mengingat Desa Luragung terletak di wilayah perbatasan antara Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, dan Kabupaten Brebes, Jawa Tengah.
Latar Belakang
Peristiwa yang melatarbelakangi pelaksanaan upacara ini adalah kemarau panjang yang mengakibatkan kekeringan. Kemarau tak kunjung berakhir tersebut kemudian mengakibatkan menurunnya hasil panen masyarakat yang mayoritas berprofesi sebagai petani.
Cerita lisan dari masyarakat Luragung, menyebutkan bahwa tradisi kearifan lokal Cingcowong lahir dari kondisi darurat tersebut. Kemarau panjang yang terjadi di masa lalu membuat para petani resah karena sawah dan ladang mereka gagal panen akibat kekurangan air.
Sejarah Singkat
Dalam situasi kemarau panjang, seorang bernama Rantasih berinisiatif mengajak masyarakat untuk bersama-sama mengatasi keadaan. Ia mengusulkan pencarian sumber mata air, tetapi usahanya tidak berhasil.
Hal itu karena masyarakat yang sudah putus asa enggan memenuhi ajakannya. Meski demikian, Rantasih tetap teguh dan yakin bahwa hujan akan segera turun jika masyarakat bersedia bersatu dan berdoa bersama.
Ketika Rantasih kesulitan mengumpulkan masyarakat, ia mendapatkan ide untuk memukul ceneng (alat musik tradisional) berulang kali hingga masyarakat berkumpul. Usaha tersebut terbukti berhasil.
Baca Juga: Upacara Adat Tembuni, Tradisi Berkaitan dengan Kelahiran Anak
Setelah itu, ia menyampaikan petunjuk yang diterimanya selama menjalani tirakat. Petunjuk tersebut berupa puasa tidak makan, tidak minum, dan tidak tidur selama tiga hari tiga malam.
Menurut petunjuk tersebut, cara memohon hujan yang efektif adalah dengan melaksanakan upacara ritual melalui media Cingcowong. Tradisi ini kemudian berkembang menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Desa Luragung, menjadi simbol kebersamaan dan harapan dalam menghadapi tantangan alam.
Prosesi Ritual
Prosesi ritual Kearifan Lokal Cingcowong berawal dengan tahap persiapan yang dipimpin oleh seorang Punduh. Tahapan ini melibatkan mendandani boneka Cingcowong. Hiasannya terdiri dari kalung bunga kemboja, baju kebaya kuning, sabuk kain putih, dan anting-anting.
Selanjutnya, Punduh mempersiapkan berbagai sesajen. Seperti kemenyan, tumpeng kecil (congcot), cerutu, telur asin, gula batu, aneka kue, dan bunga rampai tujuh warna.
Boneka beserta sesajen kemudian dibawa ke parit (comberan) terdekat. Membiarkan boneka di sana selama satu malam, sambil Punduh mengucapkan mantra untuk memanggil roh halus agar masuk ke dalam boneka.
Selain itu juga perlu menyiapkan beberapa peralatan lainnya untuk upacara. Seperti tangga bambu, tikar, air bunga rampai, kaca kecil, sisir, dan anglo untuk membakar kemenyan.
Perkembangan dan Pelestarian
Seiring modernisasi, tradisi Cingcowong menghadapi tantangan berupa pergeseran nilai budaya dan kurangnya perhatian generasi muda. Namun, upaya pelestarian terus berlanjut.
Seperti melalui pengenalan tradisi ini di sekolah, festival budaya, dan dokumentasi ilmiah. Pemerintah daerah dan komunitas budaya juga berperan aktif dalam menjaga eksistensi Cingcowong sebagai bagian dari kekayaan budaya nusantara.
Baca Juga: Tradisi Berburu Padi Turiang di Pangandaran yang Hampir Musnah
Kearifan lokal Cingcowong bukan sekadar ritual memohon hujan, melainkan simbol kearifan lokal yang kaya akan nilai budaya dan spiritual. Tradisi ini mengajarkan pentingnya menjaga hubungan harmonis antara manusia, alam, dan Sang Pencipta. (R10/HR-Online)