Pada masa kemerdekaan, Soekarno mengembangkan ideologi yang berlandaskan pemikiran Marxisme, namun disesuaikan dengan karakteristik Indonesia. Ideologi ini dikenal dengan sebutan Marhaenisme yang merupakan konsep pemikiran ideologi Bung Karno. Marhaenisme Bung Karno menekankan penentangan terhadap penindasan.
Baca Juga: Tanggal Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Dipilih Ir. Soekarno
Baik itu penindasan antar manusia maupun antar bangsa. Ideologi ini bertujuan untuk menciptakan keadilan sosial dengan menghapuskan segala bentuk penindasan yang dirasakan oleh rakyat Indonesia, sekaligus memperjuangkan kemerdekaan dan kesejahteraan bangsa.
Konsep Marhaenisme Bung Karno
Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno, memberikan kontribusi besar terhadap ideologi perjuangan bangsa melalui pengenalan ajaran Marhaenisme. Konsep Marhaenisme Bung Karno muncul sebagai respons terhadap penindasan yang terjadi akibat kolonialisme, imperialisme, dan kapitalisme pada zamannya.
Pada Kongres Partindo tahun 1933, Soekarno menyampaikan konsep Marhaenisme melalui beberapa butir keputusan yang mencerminkan pandangannya terhadap ideologi tersebut. Tujuan dari pengenalan Marhaenisme ini adalah untuk memberikan gambaran jelas tentang perjuangan rakyat Indonesia yang mengutamakan keadilan sosial dan menentang segala bentuk penindasan, serta memberikan arah bagi gerakan kemerdekaan Indonesia.
Sejarah dan Latar Belakang
Marhaenisme bukanlah ideologi yang muncul begitu saja, melainkan merupakan landasan pergerakan Bung Karno yang sudah berakar dalam pemikirannya sejak usia 20 tahun. Inspirasi pertama kali muncul ketika Soekarno masih menjadi mahasiswa di perguruan tinggi Bandung, yaitu Technische Hoogeschool te Bandoeng (sekarang Institut Teknologi Bandung/ITB).
Suatu hari, saat sedang berjalan-jalan di pinggiran Kota Bandung, Soekarno bertemu dengan seorang petani bernama Marhaen. Dalam buku “Biografi Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia” karya Cindy Adams, diceritakan bahwa meskipun Marhaen memiliki tanah dan alat produksi sendiri, ia beserta rakyat kecil lainnya masih menghadapi kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Pandangan Soekarno terhadap Marhaen dan kondisi rakyat kecil inilah yang menjadi inspirasi awal bagi terbentuknya ideologi Marhaenisme. Marhaen, meskipun memiliki alat produksi dan tidak bergantung pada orang lain, tetap hidup dalam kesulitan.
Dalam pandangan Bung Karno, Marhaen merupakan gambaran dari mayoritas rakyat Indonesia. Hal ini memunculkan pertanyaan tentang identitas sejati mereka, yang akhirnya memicu Soekarno untuk merenung dan mencari jawabannya.
Ideologi Muncul Saat Bersepeda
Namun, Soekarno tidak menemukan solusi terhadap pertanyaan yang mengganggunya tidak melalui analisis ilmiah atau diskusi dengan rekan-rekan aktivisnya. Sebaliknya, jawaban itu muncul saat Soekarno memutuskan untuk tidak mengikuti kuliah dan malah bersepeda tanpa tujuan di wilayah Kota Bandung.
Selama bersepeda, Bung Karno tiba di sebuah persawahan yang terletak di selatan Bandung. Ia berhenti sejenak dan melihat seorang petani yang mengenakan pakaian lusuh sedang mencangkul sendirian di lahan sawahnya.
Setelah mengamati keadaan tersebut, Soekarno mendekat dan bertanya tentang tanah yang sedang dikerjakan oleh petani tersebut. Petani itu menjawab bahwa tanah tersebut bukanlah tanah yang ia beli, melainkan tanah warisan dari orang tuanya.
Dalam sejarah Marhaenisme Bung Karno, keadaan ini mencerminkan apa yang selama ini Soekarno impikan, yakni seorang pekerja kecil yang memiliki alat produksi sendiri. Momen tersebut menjadi titik balik bagi Soekarno dalam merumuskan ideologi Marhaenisme, yang mengedepankan prinsip keadilan sosial dan menentang penindasan.
Muncul Gagasan Saat Melihat Petani
Keadaan petani tersebut mencerminkan upaya maksimal yang rakyat kecil lakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Petani itu bekerja keras untuk menghidupi istri dan empat anaknya yang tinggal di rumah sederhana. Ketika Soekarno bertanya nama petani tersebut, dengan singkat petani itu menjawab, “Marhaen.”
Percakapan tersebut membuka mata Bung Karno terhadap sistem penindasan yang diterapkan oleh kolonial Belanda. Ia menyadari bahwa seharusnya petani dan rakyat kecil dapat berkembang, namun mereka dibatasi oleh sistem yang tidak adil.
Soekarno kemudian memutuskan untuk menggunakan nama “Marhaen” sebagai simbol bagi seluruh rakyat Indonesia yang mengalami kesulitan serupa. Sejak saat itu, Bung Karno mulai menyebut rakyatnya dengan sebutan Marhaen.
Baca Juga: Segudang Alasan Soekarno Hatta Bekerja Sama dengan Jepang
Pada sisa hari itu, Soekarno menghabiskan waktu bersepeda keliling Kota Bandung sambil merenung dan merangkai pemikirannya. Nama Marhaen akhirnya menjadi simbol perjuangan rakyat kecil yang tertindas oleh sistem kolonial.
Hal itu kemudian terkenal dengan ideologi Marhaenisme Bung Karno. Ideologi ini menekankan keadilan sosial dan menentang segala bentuk penindasan terhadap rakyat kecil.
Perbedaan Marhaen, Marhaenis, Marhaenisme
Meskipun nama “Marhaen” berasal dari kisah seorang petani, istilah tersebut lebih berfungsi sebagai simbol untuk menggambarkan perjuangan rakyat kecil Indonesia. Berikut adalah perbedaan antara Marhaen, Marhaenis, dan Marhaenisme dalam konteks pemikiran Bung Karno:
Marhaenisme
Marhaenisme merupakan ideologi sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi yang mengusung perjuangan untuk menghilangkan kapitalisme dan imperialisme. Ideologi ini berfokus pada keadilan sosial dan pemberdayaan rakyat kecil serta menentang penindasan yang terjadi akibat sistem kolonial dan kapitalis.
Marhaen
Dalam konteks Marhaenisme Bung Karno, “Marhaen” merujuk pada kaum proletar atau rakyat jelata Indonesia, khususnya petani dan kaum melarat yang kesulitan memenuhi kebutuhan hidup. Mereka adalah simbol perjuangan terhadap ketidakadilan dan penindasan sosial yang diterapkan oleh sistem kolonial dan kapitalisme.
Marhaenis
Marhaenis adalah istilah yang merujuk pada setiap individu atau kelompok yang menjalankan ajaran Marhaenisme, yaitu yang berjuang untuk menegakkan keadilan sosial dan melawan penindasan. Sementara itu, ada pula istilah “Marhaeni,” yang merujuk pada wanita dari kalangan rakyat kecil yang tertindas oleh sistem.
Bung Karno menekankan bahwa baik kaum Marhaen maupun Marhaenis tidak boleh saling bermusuhan. Akan tetapi melainkan harus saling bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama.
Baca Juga: Kisah Sukarno dengan Gadis Belanda, Lamaran Ditolak hingga Diusir
Istilah-istilah ini memberikan kontribusi besar terhadap perjuangan bangsa Indonesia. Bahkan, Bung Karno menyatakan bahwa Pancasila merupakan bentuk konkret dari Marhaenisme, dan sebaliknya, Marhaenisme Bung Karno adalah inti dari Pancasila. (R10/HR-Online)