Mubazir dalam Islam sangat menjadi perhatian yang begitu serius, apalagi berhubungan dengan perilaku manusia. Dalam ajaran Islam, perilaku ini masuk dalam kategori tidak terpuji alias tercela.
Secara bahasa, kata mubazir ini berasal dari bahasa Arab tabzir yang artinya boros atau menghambur-hamburkan sesuatu.
Sedangkan dalam bahasa Indonesia, merujuk pada perbuatan menyia-nyiakan, berlebihan, bersifat boros serta terbuang-buang.
Baca juga: Pengertian Riya dalam Islam, Sifat Buruk Penghapus Pahala Amal Baik
Dari segi bahasa dan Istilah di Indonesia, kata tersebut sudah tentu dapat kita pahami merupakan perilaku yang tidak baik. Sehingga, kita perlu mengetahui dan memahaminya agar tidak melakukannya.
Selain karena bakal merugikan secara pribadi dari sisi materi, juga bisa berdampak secara sosial maupun keagamaan, yakni melanggar ketentuan Islam.
Dalil Tentang Mubazir dalam Islam
Sebagaimana dari namanya yang terserap dari bahasa Arab, perbuatan ini juga menjadi perhatian serius. Bahkan, di dalam Al Quran maupun Hadits banyak yang membahas salah satu perilaku manusia ini.
Seperti dalam Surat Al Isra ayat 27, secara tegas menyebut orang boros atau suka menghambur-hamburkan sesuatu dengan sia-sia adalah temannya setan. Sedangkan setan sendiri merupakan makhluk Allah ingkar kepada-Nya.
Sementara itu, Rasulullah SAW juga pernah bersabda bahwa Allah sangat murka terhadap orang yang suka menghambur-hamburkan harta secara tidak jelas tujuannya.
Melihat dalil di atas, sudah tentu Islam sangat melarang umatnya untuk melakukan perbuatan yang tidak ada faedahnya. Sebab, selain bisa merugikan diri sendiri, juga bisa merugikan orang lain.
Dengan mengacu pada ajaran Islam yang begitu luar biasa ini, sebaiknya kita selalu mempertimbangkan segala sesuatu yang akan kita putuskan.
Misalnya, ketika membeli sesuatu hendaknya memikirkan sisi manfaat, kualitas serta menunjang atau tidak dalam kehidupan sehari-hari.
Jika itu hanya sebagai pemuas keinginan semata, bisa jadi nanti barang tersebut akan menjadi tidak terpakai dan sia-sia.
Tak hanya soal barang, dalam urusan makanan pun seyogyanya kita harus mempertimbangkan sisi manfaat dan kebutuhan kita. Sebab, kita sering membeli makanan dalam jumlah banyak dan pada akhirnya tidak semuanya kita makan. Sedangkan sisanya kita buang.
Padahal, ketika kita makan sesuai kebutuhan bisa membuat kita semakin hemat dan bisa memanfaatkan untuk keperluan yang lain, seperti untuk memperbaiki rumah, sedekah dan lainnya.
Perbedaan Hemat dan Pelit
Setelah mengetahui Mubazir dalam pandangan Islam yang menganjurkan umatnya untuk melakukan penghematan, bukan berarti pula kita melakukannya secara berlebihan hingga berujung pada sifat pelit atau bakhil.
Hemat, secara mudahnya adalah kita melakukan suatu tindakan sesuai kebutuhan. Misalnya dalam urusan makan, hendaknya kita mengambil makanan secukupnya saja agar yang di piring habis. Namun, kalau kita mengambil banyak makanan dan kemudian banyak sisa, maka itu masuk kategori mubazir meski nantinya itu makanannya bisa diberikan untuk ternak.
Sedangkan pelit atau kikir, mengacu pada perbuatan yang tidak mau membagikan di saat kondisi yang sedang membutuhkan. Misalnya, ketika kita sedang berhemat, bukan berarti kita tidak boleh memberikan sedekah kepada orang lain yang membutuhkan.
Baca juga: Bahaya Sifat Kikir dan Ancaman yang Mengintai Bagi Muslim
Apabila memang kondisinya tidak ada, sebaiknya adalah dengan meminta maaf secara baik-baik bahwa kita sedang tidak punya.
Dari penjelasan soal mubazir dalam Islam di atas, poinnya adalah kita harus selalu bijak dalam berbagai hal, termasuk urusan pemanfaatan waktu. Dengan begitu, setiap langkah dan perbuatan yang kita lakukan bermanfaat. (Muhafid/R6/HR-Online)