harapanrakyat.com,- Fenomena mata elang (matel) atau oknum debt collector (DC) yang meresahkan masyarakat kembali menjadi sorotan di Kota Tasikmalaya, Jawa Barat. Pasalnya, penarikan kendaraan bermotor bermasalah kerap dilakukan secara paksa di jalanan.
Mata elang diketahui sering beroperasi di sejumlah titik jalan utama di pusat Kota Tasikmalaya. Oknum DC ini biasanya berkumpul dan mencari sasaran kendaraan untuk ditarik tanpa prosedur hukum yang jelas. Padahal, dalam ketentuan perundang-undangan, penarikan paksa kendaraan bermotor di jalan tidak dibenarkan dan harus melalui putusan pengadilan.
Pengacara muda dari ESB Law Centre, Dr. Eki Sirojul Baehaqi, SH, MH, angkat bicara terkait praktik tersebut. Ia menyebut, persoalan muncul karena penarikan kendaraan bermotor kerap dilakukan sembarangan, bahkan di jalan raya, hingga berujung pada kontak fisik.
“Penarikan motor di jalanan secara serampangan itu tidak dibenarkan secara hukum. Cara-cara seperti itu sudah diatur dalam Undang-Undang tentang Jaminan Fidusia,” kata Eki, dikutip dari kanal YouTube ESB Law Centre, Kamis (18/12/2025).
Baca Juga: Aksi Mata Elang Kerap Meresahkan, Polres Tasikmalaya Kota Berikan Tips Hadapi Penarikan Paksa
Eki menjelaskan, terdapat pula putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengatur tata cara eksekusi terhadap objek jaminan fidusia, yang umumnya berupa kendaraan bermotor dan mobil.
“Untuk melakukan eksekusi penarikan kendaraan, ada beberapa syarat. Pertama, kendaraan tersebut harus memiliki sertifikat jaminan fidusia. Kedua, debitur telah melakukan cidera janji atau wanprestasi. Ketiga, eksekusi harus berdasarkan putusan pengadilan,” jelasnya.
Sering Terjadi di Kota Tasikmalaya, Praktik Mata Elang Tidak Penuhi Ketentuan
Menurut Eki, praktik yang sering terjadi di lapangan justru tidak memenuhi ketentuan tersebut. Bahkan, tidak sedikit kendaraan yang belum atau tidak didaftarkan fidusia, atau proses eksekusinya tidak melalui pengadilan.
“Inilah yang menjadi masalah. Pada prinsipnya, eksekusi kendaraan di jalan itu tidak dibenarkan menurut hukum. Justru bisa menimbulkan dampak hukum lain, seperti konflik fisik yang berisiko tinggi,” tegasnya.
Ia menambahkan, Undang-Undang Fidusia sejatinya dibuat untuk memberikan perlindungan hukum, baik kepada kreditur maupun debitur. Fidusia sendiri merupakan pengalihan hak kepemilikan secara kepercayaan, di mana kendaraan tetap dikuasai debitur, namun menjadi jaminan bagi kreditur.
“Dalam klausul fidusia memang disebutkan, jika debitur cidera janji, objek jaminan dapat ditarik. Tapi tetap harus melalui putusan pengadilan,” ujarnya.
Eki juga menyoroti legalitas debt collector yang melakukan penarikan kendaraan. Menurutnya, harus dipastikan apakah DC tersebut memiliki identitas resmi, surat tugas, serta kompetensi dan pelatihan yang memadai.
Baca Juga: Geng Motor Terus Beraksi di Kota Tasikmalaya, 2 Pelajar Harus Dioperasi dan Patah Tulang
“Sering kali yang menjadi persoalan adalah keterlibatan pihak ketiga yang tidak profesional. Mereka asal menarik kendaraan, bahkan dengan paksaan. Padahal, penarikan harus dilakukan oleh institusi resmi, sesuai prosedur. Namun di lapangan, praktiknya sering jauh dari ideal. Meski begitu, pada dasarnya ini tetap persoalan perdata,” pungkasnya. (Apip/R7/HR-Online/Editor-Ndu)

16 hours ago
5

















































