Rekam jejak pendudukan Belanda di Nusantara seolah tak pernah habis untuk kita telusuri. Mulai dari infrastruktur transportasi, bangunan militer, hingga sistem ketahanan pangan, seperti abattoir di Cimahi. Konon, sejarah abattoir Tjimahi ini punya perjalanan panjang serta fungsi penting dalam pembangunannya.
Baca Juga: Sejarah Gedung Grahadi Surabaya, dari Awal Pembangunan hingga Pemanfaatannya Sekarang
Abattoir sendiri dalam bahasa Indonesia berarti rumah jagal atau tempat penyembelihan hewan. Bangunannya berada di ujung Jalan Sukimun, Kelurahan Baros, Kecamatan Cimahi Tengah. Lantas seperti apa historinya? Mari kita ulas secara detail.
Menelusuri Jejak Sejarah Abattoir Tjimahi
Untuk memahami alasan pendirian rumah jagal tersebut, kita perlu melihat latar belakang Cimahi di masa lalu. Pada awal abad ke-20, Cimahi berfungsi sebagai garnisun militer oleh pemerintah kolonial Belanda.
Di mana kawasannya menjadi markas besar tentara KNIL (Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger). Ini mengingat lokasinya yang strategis, yakni berada di jalur kereta antara Batavia dan Bandung. Selain itu, Cimahi juga cukup jauh dari keramaian perkotaan sehingga ideal untuk pelatihan militer.
Dengan banyaknya pasukan militer yang tinggal di wilayah itu, kebutuhan akan logistik, terutama pasokan daging, meningkat tajam. Hal yang akhirnya melatarbelakangi pembangunan rumah jagal bergaya art deco oleh perusahaan Jenne & Co. Sebuah perusahaan importir sapi asal Australia yang berkantor pusat di Batavia.
Fungsi utamanya kala itu adalah untuk menyediakan daging segar bagi kebutuhan pasukan. Tidak tanggung-tanggung, sesuai catatan sejarah, abattoir Tjimahi mampu memotong hingga 10 ekor sapi per hari. Kapasitas yang cukup besar untuk ukuran rumah jagal pada eranya.
Akses Logistik yang Canggih di Masanya
Keunggulan rumah jagal Tjimahi tak hanya terletak pada arsitekturnya yang khas. Melainkan juga sistem logistik yang sangat efisien untuk awal abad ke-20. Sapi-sapi impor dari Australia yang terkirim melalui Pelabuhan Batavia bisa langsung terangkut dengan kereta api menuju Cimahi. Tidak perlu lagi melalui jalur darat yang jauh dan kurang efisien seperti Jalan Raya Pos.
Menariknya, rel kereta api dibangun hingga berhenti tepat di depan bangunan abattoir. Itu artinya, sapi tidak perlu penjagal giring lagi dari Stasiun Cimahi yang jaraknya sekitar satu kilometer. Fasilitas ini menunjukkan betapa matangnya Belanda dalam membangun basis logistik.
Baca Juga: Kupas Tuntas Sejarah Priangan Timur dari Tahun ke Tahun
Tetap Aktif di Masa Pendudukan Jepang
Sejarah terus berlanjut hingga Jepang mengambil alih kekuasaan di Indonesia pada 1942, fungsi abattoir Tjimahi sendiri tetap bertahan. Jepang melihat pentingnya keberadaan rumah jagal ini dalam mendukung logistik militer mereka. Sehingga aktivitas pemotongan hewan masih berjalan.
Secara teknis, bangunan ini dirancang dengan sangat fungsional. Terdapat dua lantai, bagian atas sebagai ruang administrasi dan tempat bekerja bagi para pegawai rumah potong. Sementara lantai bawah menjadi tempat penyimpanan sapi hidup dan hewan ternak lainnya.
Di bagian luar bangunan, terdapat area lapang yang berfungsi untuk proses penyembelihan sekaligus pembersihan hewan. Ada juga berbagai piranti khas pemotongan daging. Seperti gantungan logam besar, alat pengerek, serta saluran pembuangan yang tertata rapi. Semuanya masih bisa kita lihat di sana sampai sekarang.
Berpindah Tangan Setelah Kemerdekaan
Setelah Indonesia merdeka dan masa perang revolusi usai, bangunan abattoir tidak langsung kosong. Pengelolaannya sempat diambil alih oleh Residen Priangan sebelum akhirnya menjadi tanggung jawab Pemerintah Kabupaten Bandung sekitar 1960-an.
Ketika Tjimahi berubah status menjadi kota administratif pada 1976, sejarah pengelolaan abattoir ini berpindah ke tangan Pemerintah Kota Cimahi. Meskipun skala penggunaannya mulai menurun karena berbagai faktor. Salah satunya faktor efisiensi dan permintaan pasar.
Seiring pertumbuhan penduduk dan menjamurnya permukiman warga di sekitar kawasan Baros, aktivitas pemotongan hewan di abattoir perlahan-lahan menghilang. Apalagi, Rumah Potong Hewan (RPH) Andir di Kota Bandung lebih aktif dan terorganisir. Sehingga pasokan daging sapi lebih banyak dari sana.
Baca Juga: Alun-alun Kian Santang Purwakarta dan Sejarahnya
Itulah penjelasan tentang sejarah abattoir Tjimahi. Meski tidak lagi aktif, ada rencana pemerintah setempat mendaftarkan abattoir sebagai salah satu bangunan cagar budaya. Namun sayangnya, status yang belum pasti tersebut tidak cukup untuk menyelamatkan bangunan dari kerusakan. Kini, kondisi rumah jagalnya cukup memprihatinkan. Langit-langit bangunan banyak yang jebol, sementara tembok luarnya mengelupas. (R10/HR-Online)