Sejarah kerajaan Pajang memiliki peran penting dalam catatan historis penyebaran Islam di Jawa, terutama di wilayah Surakarta. Sebagai kerajaan Islam, Pajang berdiri pada abad ke-16 Masehi di Pulau Jawa dan menjadi kelanjutan dari Kesultanan Demak sebelum akhirnya pengaruhnya tergantikan oleh Mataram Islam.
Baca Juga: Sejarah Kerajaan Tarumanegara dan Raja yang Membawa pada Puncak Kejayaannya
Sejarah Pemindahan Pusat Pemerintahan Kerajaan dari Demak ke Pajang
Kerajaan Pajang merupakan kerajaan Islam yang berdiri pada tahun 1568 di Kartasura, Surakarta, Jawa Tengah. Kerajaan ini menjadi kelanjutan dari Kesultanan Demak setelah Jaka Tingkir, atau Sultan Hadiwijaya, berhasil menyingkirkan Arya Penangsang dan memindahkan pusat pemerintahan dari Demak ke Pajang.
Awalnya, Pajang hanyalah daerah bawahan Demak, tetapi setelah runtuhnya Kesultanan Demak, Pajang berkembang menjadi kerajaan mandiri. Pada masa pemerintahan Sultan Hadiwijaya, yang berlangsung selama 15 tahun, Pajang mencapai puncak kejayaannya. Kemajuan dalam bidang pertanian menjadikannya sebagai lumbung beras utama di Jawa, dengan wilayah kekuasaan yang meliputi Madiun, Blora, dan Kediri.
Namun, setelah berdiri selama 21 tahun, Kerajaan Pajang mengalami kemunduran dan runtuh pada tahun 1587. Beberapa peninggalan sejarah yang masih tersisa dari kerajaan ini antara lain Masjid Laweyan, Pasar Laweyan, dan Bandar Kabanaran, serta reruntuhan yang diyakini sebagai petilasan Kerajaan Pajang di daerah Pajang.
Konon, banyak meyakini bahwa Kerajaan Pajang ini merupakan kelanjutan dari Kesultanan Demak yang runtuh akibat perebutan kekuasaan di antara para adipati. Pusat kerajaan ini terletak di perbatasan Desa Pajang, Kota Surakarta, dengan Desa Makamhaji, Kartasura, Kabupaten Sukoharjo.
Menurut Sejarah Peradaban Islam di Indonesia karya Sayuthi Pulungan (2022), pendiri Kerajaan Pajang adalah Sultan Hadiwijaya, yang lebih terkenal sebagai Jaka Tingkir. Ia merupakan seorang bupati Demak yang berhasil mengalahkan Arya Penangsang, Adipati Jipang, yang memberontak terhadap Sultan Trenggana, raja terakhir Kesultanan Demak.
Bantuan Sunan Kalijaga untuk Gantikan Sultan Trenggana
Dengan bantuan dari Sunan Kalijaga, salah satu wali Songo, Jaka Tingkir akhirnya berhasil menggantikan Sultan Trenggana sebagai raja Demak di tahun 1546.
Akan tetapi, Jaka Tingkir tidak memindahkan pusat pemerintahannya ke Demak, melainkan tetap di Pajang. Ia tidak memakai gelar sultan, tetapi hanya gelar senopati ing alaga atau pemimpin perang.
Lantas, hal ini mampu menunjukkan bahwa ia tidak ingin timbul konflik dengan para adipati lainnya yang masih mengklaim sebagai keturunan Majapahit.
Baca Juga: Sejarah Kerajaan Huristak, Interaksi Budaya Dunia
Puncak Kejayaan
Dalam sejarah Kerajaan Pajang, puncak kejayaannya ada di masa pemerintahan Sultan Hadiwijaya. Berdasarkan Jurnal Sundang berjudul Sejarah Kesultanan Pajang Masa Pemerintahan Sultan Hadiwijaya (1549-1582) oleh Chinanti Safa Camila dan Hudaifah, masa kejayaan Kerajaan Pajang terjadi di bawah kepemimpinan Sultan Hadiwijaya.
Pada awal berdirinya, wilayah Pajang hanya mencakup bagian barat Bagelan dan Kedu. Namun, pada tahun 1580, Pajang telah berhasil menaklukkan hampir seluruh kerajaan di Tanah Jawa, kecuali Blambangan. Informasi ini tercatat dalam laporan seorang pelaut Inggris bernama Francis Dake.
Keraton Pajang saat itu memiliki nuansa Islami yang kuat, dipengaruhi oleh ajaran Sunan Kalijaga. Pengaruh tersebut terlihat dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari cara makan, berpakaian, hingga berinteraksi dengan masyarakat.
Di bidang ekonomi, mayoritas penduduk Pajang bekerja sebagai petani dengan memanfaatkan sistem irigasi yang baik. Hal ini menjadikan Pajang sebagai lumbung beras utama pada abad ke-16 dan 17, dengan hasil pertanian yang beragam, seperti beras dan palawija.
Selain ekonomi, kebudayaan di Pajang juga berkembang pesat. Sultan Hadiwijaya mendukung pendirian kampung batik di Laweyan dan Mutihan, serta mendorong perkembangan kesenian, seperti wayang khas Pajang yang dikenal dengan Kidang Kencana. Dalam bidang sastra, kemajuan Pajang ditandai dengan adanya sajak monolistik Niti Sruti karya Pangeran Karang Gayam.
Meskipun eksistensinya tidak berlangsung lama, Pajang memiliki pengaruh politik yang luas, mencakup Surabaya, Kedu, Tuban, Jepara, hingga Mataram.
Raja-Raja
Kerajaan Pajang diperintah oleh tiga raja utama: Jaka Tingkir, Arya Pangiri, dan Pangeran Banawa.
Jaka Tingkir (Sultan Hadiwijaya) adalah raja pertama Pajang, menikahi Ratu Mas Cempaka dan memiliki putra Pangeran Banawa. Ia wafat setelah perang melawan Mataram.
Arya Pangiri, putra Sunan Prawata, naik takhta setelah Sultan Hadiwijaya mangkat. Pemerintahannya memicu konflik dengan Pangeran Banawa, yang akhirnya menggulingkannya.
Pangeran Banawa menjadi raja terakhir Pajang. Karena kedekatannya dengan Panembahan Senopati, Pajang kemudian bergabung dengan Mataram. Pangeran Banawa dikabarkan turun takhta untuk menjadi ulama atau mendirikan pemerintahan di Pemalang.
Peninggalan
Salah satu peninggalan dari sejarah Kerajaan Pajang yang masih bisa masyarakat lihat adalah makam Sultan Hadiwijaya. Letaknya berada di Desa Makamhaji, Kartasura. Terdapat tembok-tembok batu bata bertuliskan kaligrafi Arab yang mengelilingi makam. Sementara itu, di depan makam terdapat gapura yang punya bentuk paduraksa dengan hiasan ukiran kayu.
Selain itu, terdapat masjid yang Sultan Hadiwijaya dirikan dan masih ada sampai saat ini. Peninggalan berikutnya adalah pasar yang ada di daerah Laweyan, Surakarta.
Selain di Laweyan, ada pula tempat perdagangan lain di wilayah Kabanaran, Surakarta. Beberapa reruntuhan yang dapat masyarakat temukan yakni di daerh Pajang. Wilayah ini masih masyarakat percaya sebagai petilasan Kerajaan Pajang.
Sumber Sejarah Kerajaan
Rupanya, sejarah Kerajaan Pajang ini memiliki sumber sejarah yang sangat sedikit daripada kerajaan Islam lainnya, seperti:
Baca Juga: Sejarah Kerajaan Jailolo Salah Satu Kesultanan di Maluku Utara
1. Serat Nitisruti
Serat Nitisruti ini sering berkaitan dengan keberadaan Kesultanan Pajang. Naskahnya banyak yang mengandung unsur mistik dan pengaruhnya adalah serat Ramayana serta serat Koja-jajahan. Namun sayangnya, keberadaannya masih terus menjadi perdebatan. Terutama tentang siapa yang telah mengubah dan kapan berubahnya.
2. Babad Tanah Jawi
Ini menjadi sumber utama guna merekonstruksi posisi Kerajaan Pajang dalam sejarah Jawa. Akan tetapi, kembali lagi informasi dari sumber lainnya dalam bentuk data arkeologi atau kearsipan mengenai kerjaan ini yang sangat terbatas.
3. Kitab Negarakertagama
Ini merupakan perjalanan Prabu Hayam Wuruk dan juga menyebutkan Pajang menjadi salah satu wilayah yang telah ia kunjungi.
Konon, Hayam Wuruk pernah mengunjungi Pajang pada tahun 1275 saka dan 1279 saka sebab menjadi wilayah kekuasaan Majapahit.
Keruntuhan
Setelah wafatnya Sultan Hadiwijaya, Kerajaan Pajang mulai mengalami kemunduran akibat perseteruan antara Pangeran Benawa dan menantu Sultan Hadiwijaya, Arya Pangiri. Konflik ini bermula ketika Arya Pangiri dinobatkan sebagai raja Pajang, menyebabkan Pangeran Benawa terusir dari istana.
Pangeran Benawa kemudian mencari dukungan dari Senapati Ngalaga, penguasa Mataram, untuk menggantikan Arya Pangiri sebagai raja Pajang. Namun, Senapati Ngalaga, yang terkenal sebagai Panembahan Senopati, menolak tawaran tersebut dan justru ingin mengangkat Pangeran Benawa sebagai penguasa Pajang.
Dengan bantuan pasukan Mataram, Pangeran Benawa bergerak menuju Pajang, di mana Arya Pangiri telah bersiap bersama pasukan gabungan dari Demak dan Kudus. Perang sengit pun tak terhindarkan.
Pada akhirnya, Arya Pangiri dikalahkan, dan takhta Pajang beralih ke tangan Pangeran Benawa. Namun, masa kepemimpinannya (1586-1587) tidak banyak tercatat dalam sejarah, begitu pula dengan akhir pemerintahannya. Setelah Pangeran Benawa, Kerajaan Pajang kehilangan kedaulatannya dan resmi menjadi bagian dari Kerajaan Mataram.
Baca Juga: Sejarah Situs Kota Kapur, Jadi Bukti Kehadiran Kerajaan Sriwijaya
Semoga informasi ini bermanfaat dan menambah wawasan tentang sejarah Kerajaan Pajang, mulai dari pendiriannya, masa kejayaan di bawah Sultan Hadiwijaya, hingga kemundurannya yang berujung pada penggabungan dengan Kerajaan Mataram. Jika ada pertanyaan atau ingin membahas lebih lanjut, jangan ragu untuk bertanya! (R10/HR-Online)