Sejarah Kyai Mojo, Ulama Besar di Perang Jawa

1 month ago 13

Dalam Perang Jawa, Kyai Mojo merupakan salah satu ulama yang cukup terkenal karena kepiawaiannya dalam strategi perang. Di dalam catatan Sejarah Kyai Mojo, ia terkenal sebagai ahli strategi yang berperan penting di wilayah Kota Yogyakarta dan Jawa Tengah

Baca Juga: Sejarah KH Abdul Halim, Pendiri PUI Asal Majalengka

Karena kemampuan tersebut, Kyai Mojo mendapat kepercayaan dari Pangeran Diponegoro atau Raden Mas Ontowiryo untuk memperkuat pasukan dalam perjuangan melawan penjajah. Peranannya yang strategis dan kepandaiannya dalam mengatur taktik perang membuatnya menjadi sosok yang dihormati dalam sejarah Perang Jawa.

Biografi dan Sejarah Kyai Mojo

Muslim Mochammad Khalifah atau yang lebih populer dengan nama Kyai Mojo, adalah seorang ulama yang lahir di Surakarta, Jawa Tengah, pada tahun 1792. Kyai Mojo terkenal sebagai panglima yang berperan penting dalam Perang Jawa. 

Kepemimpinannya dalam pertempuran dan strategi perang yang brilian membuatnya memiliki jasa besar dalam perjuangan melawan penjajah. Sebagai penghormatan atas perjuangannya, nama Kyai Mojo abadi sebagai salah satu nama ruas jalan di Kota Yogyakarta, sebagai simbol dedikasinya terhadap tanah air.

Kehidupan Kyai Mojo

Kyai Mojo lahir dari pasangan Iman Abdul Ngarip dan R.A Mursilah. R.A Mursilah berasal dari keturunan bangsawan, sementara ayah Kyai Mojo merupakan keturunan Keraton Yogyakarta, dan ibunya adalah saudara Sultan Hamengkubuwana III. 

Meskipun memiliki latar belakang keluarga yang dekat dengan keraton, Kyai Mojo tidak tumbuh besar di lingkungan keraton. Kyai Mojo dan Raden Mas Ontowiryo memiliki ikatan kekerabatan yang erat, karena mereka adalah saudara sepupu. 

Kedekatan mereka semakin kuat setelah Kyai Mojo menikah dengan janda Pangeran Mangkubumi yang merupakan paman dari Pangeran Diponegoro. Karena hubungan keluarga ini, Kyai Mojo sering mendapat panggilan dengan sapaan ‘paman’ dari Raden Mas Ontowiryo.

Perjalanan Kyai Mojo Saat Mendakwah

Dalam sejarah Kyai Mojo yang merupakan seorang ulama besar, ia memiliki dasar pengetahuan agama yang sangat tinggi. Sebagai bagian dari perjalanan spiritualnya, ia melakukan perjalanan ke Tanah Suci Makkah untuk menunaikan ibadah haji dan tinggal di sana untuk beberapa waktu. 

Setelah kembali ke Indonesia, Kyai Mojo melanjutkan perannya dengan mengelola pesantren di desanya, mengajarkan ilmu agama kepada masyarakat. Kyai Mojo memiliki cita-cita bahwa suatu hari pemerintahan di Tanah Jawa akan ia kelola dengan dasar syariat Islam. 

Pangeran Diponegoro yang merupakan sepupunya, mendukung cita-cita ini, menjanjikan bahwa perubahan tersebut akan terwujud. Hal ini mendorong Kyai Mojo dan para pengikutnya untuk bergabung dalam Perang Jawa. Berjuang bersama Raden Mas Ontowiryo melawan Pemerintah Hindia Belanda demi mewujudkan harapan tersebut.

Bergabung dalam Perang Jawa

Pecahnya Perang Jawa terjadi akibat adanya campur tangan Belanda dalam urusan Keraton Kesultanan Yogyakarta. Pada tahun 1821, petani lokal mulai merasakan penderitaan akibat sewenang-wenangnya penyewaan tanah oleh bangsa Inggris, Belanda, Perancis, dan Jerman. 

Baca Juga: Sejarah Raden Aria Wiratanu Datar, Pendiri Kerajaan Cianjur

Ketidakadilan ini memperburuk kondisi sosial dan ekonomi masyarakat, sehingga menciptakan ketegangan yang akhirnya memicu perang. Dalam catatan sejarah Kyai Mojo, ia bergabung dalam perjuangan setelah pasukan Raden Mas Ontowiryo, sepupunya, tiba di Gua Selarong. 

Mereka kemudian menjalankan strategi perang gerilya untuk melawan Belanda. Dalam sejarahnya, Kyai Mojo turut berperan penting dalam perundingan yang berlangsung pada tanggal 29 Agustus 1827 di Klaten, Jawa Tengah, bersama Benda, yang merupakan tokoh penting dalam perjuangan ini.

Kyai Mojo berhasil merekrut banyak tokoh untuk memperkuat perjuangan. Di antaranya terdapat 88 orang kyai desa, 18 orang pejabat urusan agama, 11 orang syekh, 15 orang guru ngaji, dan puluhan ulama lainnya, termasuk beberapa santri perempuan. Keterlibatan mereka dalam perjuangan menambah kekuatan dan semangat dalam melawan penjajah Belanda.

Perpecahan yang Terjadi

Setelah tiga tahun berjuang bersama, Kyai Mojo mulai merasa tidak sependapat dan sepaham dengan Raden Mas Ontowiryo. Ia merasa tindakan sepupunya menyimpang dari ajaran Islam dan menilai bahwa 

Raden Mas Ontowiryo mengingkari janjinya untuk membentuk pemerintahan berdasarkan syariat Islam. Ketidakpuasan ini membuat Kyai Mojo mempertimbangkan untuk menghentikan keterlibatannya dalam perjuangan.

Kyai Mojo mendapat saran untuk berhenti berperang dan memutuskan untuk berunding dengan pemerintah Belanda. Dalam perundingan tersebut, Belanda akhirnya memberikan tanah kekuasaan kepada Pangeran Diponegoro

Namun, Kyai Mojo merasa bahwa Raden Mas Ontowiryo senang dengan pemberian tersebut karena memiliki peluang untuk mendirikan kerajaannya sendiri. Kyai Mojo kemudian berangkat lagi untuk berunding dengan Belanda, tetapi perundingan kali ini gagal. 

Saat dalam perjalanan kembali, pasukan Belanda mencegat dan akhirnya menangkapnya. Pada tanggal 12 November 1828, Belanda menangkapnya dan membawanya ke Salatiga. Selama masa penahanan, Kyai Mojo meminta agar Belanda membebaskan pengikutnya. Belanda pun mengabulkannya.

Pada tanggal 17 November 1828, Belanda membawa Kyai Mojo beserta pengikutnya ke Batavia (sekarang Jakarta). Mereka mengasingkan Kyai Mojo, putranya Gozali Mojo, dan 63 pengikutnya ke Tondano, Minahasa, Sulawesi Utara. 

Baca Juga: Sejarah Raja Haji Fisabilillah, Pahlawan Nasional dari Riau

Di sana, meskipun dalam pengasingan, Kyai Mojo tetap melanjutkan dakwahnya. Hingga akhirnya, sebagai penutup sejarah Kyai Mojo, ia wafat pada tanggal 20 Desember 1849, dalam usia 57 tahun. (R10/HR-Online)

Read Entire Article
Perayaan | Berita Rakyat | | |