Sejarah panggilan Gus penting untuk diketahui karena telah lama menjadi bagian dari budaya masyarakat Jawa. Khususnya dalam lingkungan pesantren dan kalangan ulama. Istilah ini memiliki nilai historis dan kultural yang mendalam.
Baca Juga: Tradisi Haul dan Keraton Sejarah Pangeran Sutajaya Gebang
Namun, baru-baru ini, panggilan ini menjadi perbincangan hangat setelah viralnya video Gus Miftah hina pedagang es teh dengan umpatan kasar di media sosial. Publik mempertanyakan makna dan tanggung jawab yang melekat pada sebutan “Gus”, terutama karena hubungannya dengan pemimpin agama.
Makna dan Sejarah Panggilan Gus
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Gus adalah panggilan untuk anak laki-laki yang berasal dari kata “Bagus,” berarti tampan. Sejarah panggilan ini memiliki akar yang kuat dalam budaya Jawa, terutama di lingkungan istana dan pesantren.
Pada masa lalu, panggilan Gus berasal dari istilah “Gusti,” yang kerap untuk menyebut putra-putra raja di Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
Pada masa pemerintahan Sri Susuhunan Pakubuwono IV (1788-1820 M), istilah ini menjadi identitas untuk anak-anak raja yang memiliki status tinggi. Para putra raja sering rakyat sapa dengan “Gusti” atau “Den Bagus,” sebuah gelar yang melambangkan kehormatan dan kedudukan sosial tinggi.
Gelar Gus memang identik dengan pria yang memiliki reputasi sebagai tokoh terkenal, khususnya dari lingkungan Nahdlatul Ulama (NU). Salah satu sosok yang populer dengan sebutan Gus adalah Abdurrahman Wahid, Presiden keempat Indonesia yang akrab dengan sapaan Gus Dur.
Syamsul Bakri, Guru Besar Ilmu Sejarah Peradaban Islam di UIN Raden Mas Said Surakarta, menjelaskan bahwa gelar “Gus” berasal dari Jawa Timur.
Menurut Syamsul, gelar ini awalnya merupakan sebutan untuk anak laki-laki dari seorang Kyai di Jawa, sedangkan anak perempuan panggilannya “Ning.” Gelar ini lazim digunakan di lingkungan pesantren NU di Jawa Timur.
Syamsul juga menambahkan bahwa gelar “Gus” tidak memiliki kriteria khusus dan tidak berhubungan langsung dengan keilmuan. Mengutip dari NU Online, panggilan “Gus” tidak selalu tertuju kepada individu yang mendalami ilmu agama.
Seiring waktu, istilah “Gus” mengalami perluasan makna dan mulai digunakan sebagai sebutan untuk mubaligh, yaitu seseorang yang bertugas menyampaikan ajaran Islam kepada orang lain.
Perkembangan Panggilan Gus di Luar Keraton
Seiring waktu, istilah “Den Bagus” mulai golongan priyayi dan ulama gunakan di luar keraton. Para kyai di pesantren juga mengadopsi panggilan ini untuk menyebut anak-anak mereka.
Dalam lingkungan pesantren, sejarah panggilan Gus ini menjadi identitas khusus bagi putra kyai. Gelar ini tidak hanya menunjukkan status biologis sebagai keturunan kyai. Tetapi juga mengandung harapan agar penerusnya memiliki keilmuan dan akhlak yang mulia.
Ketika pesantren mulai berkembang pesat setelah kemerdekaan, panggilan Gus secara resmi untuk menyebut anak laki-laki pemimpin pesantren. Hal ini mencerminkan peran penting pesantren dalam membentuk generasi yang religius dan berkontribusi kepada masyarakat.
Baca Juga: Sejarah Kerajaan Samudera Pasai, Kerajaan Islam Pertama Nusantara
Bahkan saat ini atau era modern, panggilan Gus tetap melekat sebagai simbol tradisi dan warisan budaya yang kaya.
Dua Jenis Gelar Status: Biologis dan Struggle
Terdapat dua jenis status untuk menggolongkan gelas Gus, yakni Biologis Culture dan Struggle Culture.
Gelar Biologis Culture tersemat berdasarkan garis keturunan, seperti anak dari seorang kyai atau keturunan bangsawan. Sebaliknya, Struggle Culture adalah gelar yang diperoleh melalui perjuangan seseorang dalam masyarakat. Misalnya, seseorang dengan kemampuan keilmuan dan adab yang tinggi dapat diberi panggilan Gus meskipun bukan keturunan kyai.
Sejarah panggilan Gus ini juga mencerminkan penghormatan atas jasa seseorang kepada masyarakat. Dalam hal ini, Gus tidak hanya sekadar gelar, tetapi juga simbol dari pengakuan akan kontribusi dan dedikasi seseorang terhadap ajaran Islam dan kehidupan bermasyarakat.
Banyak tokoh mendapatkan gelar ini karena perjuangan dan kontribusi mereka yang luar biasa di berbagai bidang. Termasuk pendidikan dan dakwah.
Kontroversi dan Tanggung Jawab Panggilan Gus
Baru-baru ini, gelar Gus menjadi kontroversi setelah tindakan Gus Miftah yang dianggap kurang pantas. Peristiwa ini memicu diskusi tentang bagaimana seseorang yang menyandang gelar Gus seharusnya menjaga sikap dan perilaku mereka.
Sebagai gelar tidak resmi, Gus tidak memiliki sertifikasi formal, tetapi pemakaiannya menuntut tanggung jawab moral yang besar.
Gelar ini mengharuskan pemiliknya untuk menjaga kehormatan pribadi, menunjukkan sikap religius, dan berperilaku adab. Ketika seseorang menyandang panggilan ini, harapannya dapat menjadi teladan bagi masyarakat. Tanggung jawab ini menjadi semakin penting di era digital, di mana segala tindakan dan ucapan dapat dengan mudah tersebar luas melalui media sosial.
Sejarah panggilan Gus mencerminkan perjalanan panjang budaya dan agama di Jawa. Berawal dari lingkungan keraton hingga menjadi identitas di pesantren, panggilan ini memiliki makna mendalam.
Meskipun awalnya terkait dengan status biologis, Gus kini juga mencerminkan perjuangan seseorang dalam meraih penghormatan masyarakat. Namun, dengan gelar ini datang pula tanggung jawab besar.
Baca Juga: Sejarah Sekaten Solo, Tradisi Melalui Seni dan Budaya
Pemakainya diharapkan dapat menjaga sikap dan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai agama dan budaya. Dalam konteks modern, sejarah panggilan Gus tetap menjadi simbol kehormatan, tetapi juga tantangan untuk terus memelihara nilai luhur yang melekat padanya. Tidak hanya sebagai bentuk penghormatan, gelar ini juga mengajarkan pentingnya integritas, dedikasi, dan komitmen terhadap nilai-nilai kebaikan dalam kehidupan bermasyarakat. (R10/HR-Online)