DPP Pemuda Tani HKTI menyoroti program pemerintah soal makan bergizi gratis yang saat ini tengah berlangsung. Masalahnya, mereka menilai program tersebut lemah dari sisi petunjuk teknis atau Juknis, petunjuk pelaksanaan (Juklak) dan operasional program dari Badan Gizi Nasional. Selain itu, program ini juga rawan ditunggangi pemburu rente yang bisa berpotensi merugikan petani lokal.
Wakil Ketua Umum DPP Pemuda Tani HKTI Didik Setiawan mengatakan, pihaknya menyoroti persoalan tersebut bukan tanpa alasan. Sebab, masih banyak celah yang bisa merugikan petani karena lemahnya petunjuk pelaksanaan (Juklak) dan Juknis yang jelas.
“Misalnya, dalam juknisnya ada redaksi wajib buah serta sayur dari hasil petani lokal. Dengan ini, maka secara otomatis hasil dari pertanian lokal bisa terserap,” terang Didik kepada HR Online, Minggu (19/1/25).
Hasil Petani Lokal Harus Terserap
Selain bisa menyerap hasil petani lokal, sambung Didik, hal tersebut juga bisa membentengi celah masuknya buah maupun sayuran impor yang mendominasi dari bahan makanan di program itu.
Bahkan, pihaknya mengklaim tahu culasnya para pemilik modal besar, pengusaha nakal serta biro perencanaan yang kongkalikong dengan mafia. Apalagi mereka tidak memiliki rasa tanggung jawab sosial dan hanya memburu rente.
“Selebihnya dalam hal yang kecil saja. Kenapa program ini tidak pro pengusaha lokal ketika ada pengadaan food tray stainless steel, terlihat ribuan kontainer masuk dari China ke Indonesia berisi produk tersebut. Pengusaha lokal tidak siap dengan bajet anggaran yang diberikan serta kemampuan produksi. Hal ini sangat merugikan, belum produk lainya,” tegasnya.
Dalam program ini, kata Didik, melibatkan banyak peran usaha lokal dan membutuhkan 37 komoditas pangan lebih.
Melihat dampak dari program ini, Indonesia pun berencana mengimpor 1,2 juta sapi perah laktasi pada tahun 2025-2027. Sementara sapi-sapi tersebut rencananya adalah impor dari empat negara, yaitu Australia, Amerika Serikat, Selandia Baru, serta Brasil.
Sebagaimana targetannya, program ini bertujuan untuk meningkatkan produksi susu nasional dalam rangka implementasi Program Minum Susu Gratis (PMSG) bagi 24 juta siswa sekolah dasar.
“Pertanyaanya, kenapa harus impor sapi perah laktasi, dan jenis genetik apa sapi tersebut? seharusnya ajak dialog organisasi-organisasi petani, apa yang terbaik, bukan langsung kebijakan dengan kualitas yang tidak transparan,” tegasnya.
Jika ada dialog dengan organisasi petani, maka akan ada solusi konkrit jika memang punya tujuan baik ke depan.
Misalkan, Didik mencontohkan, impor satu juta pejantan dengan kualitas genetik yang baik sapi dan kambing penghasil susu terbaik di dunia. Kemudian membagikannya ke seluruh desa di indonesia masing masing desa 15 ekor pejantan.
Lalu, pejantan itu untuk mengawini sapi-sapi betina yang ada di desa. Sehingga, dengan begitu genetik sapi lokal kualitasnya akan menjadi baik.
Apalagi dengan sistem peternakan yang terintegrasi dalam satu hamparan di lahan aset desa yang tidak optimal dan pengelolaannya oleh unit usaha Bumdes.
“Nah, ini contoh pilihan kebijakan yang jelas arah perbaikannya,” ucap Didik.
Pengawasan Potensi Penyalahgunaan
Menurutnya, pengawasan ini penting mengingat pada tujuan dari peran ini, yakni agar supaya program yang menggunakan dana besar ini tidak hanya menciptakan peluang bagi pihak tidak bertanggung jawab.
Apalagi untuk memanfaatkan dana tersebut karena yang terlibat banyak pihak. Sehingga meningkatkan risiko kolusi akibat Kurangnya transparansi dan pengawasan.
“Program ini sangat kental ketergantungan pada supplier tertentu jika kita lihat dari buku panduan. Tentu saja ini dapat menciptakan monopoli dan penyalahgunaan, sehingga korupsi, kolusi dan nepotisme penggunaan kekuasaan untuk memberikan kontrak kepada kerabat atau teman pasti terjadi,” tegasnya.
Karena itu, pihaknya mengingatkan jangan sampai ada penyalahgunaan barang, pemalsuan dokumen akibat lemahnya juknis. Sehingga tujuan perbaikan gizi justru merugikan petani dan pengusaha lokal.
Pihaknya menegaskan mendukung program baik ini. Kendati begitu, harus matang dalam petunjuk pelaksanaan, petunjuk teknis dan pedoman umum bagi para pelaksana.
“Kita imbau semua OKP dan aktivis harus mengawal bersama program ini sampai level Juklak dan Juknis serta pedoman umum pelaksanaannya, agar petani lokal tidak merugi,” pungkasnya. (Muhafid/R6/HR-Online)