harapanrakyat.com,- Kinerja Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) menjadi sorotan dalam 100 hari pertama pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Meski tingkat kepuasan publik terhadap kepemimpinan nasional mencatat skor tinggi, opini publik menunjukkan ketidakpuasan terhadap kinerja Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Menurut Center of Economic and Law Studies (Celios), kinerja Polri hanya mendapatkan skor 4 dari 10 dalam laporannya, Selasa (21/1/2025).
Baca Juga: Kompolnas: Polri Harus Transparan Tangani Kasus Pemerasan WN Malaysia di DWP!
Peneliti Hukum Celios, Muhammad Saleh, menyebutkan kinerja Polri masih jauh dari prinsip “Presisi”. Sehingga, publik mendesak peningkatan profesionalitas dan kualitas Polri sebagai pelindung dan pengayom masyarakat.
Sementara itu, survei Litbang Kompas Januari 2025 menunjukkan Polri menjadi lembaga negara dengan tingkat kepercayaan terendah, hanya mencapai 65,7 persen. Angka ini lebih rendah daripada DPR yang selama ini mendapat penilaian sebagai lembaga paling tidak mendapat kepercayaan publik. Survei juga menunjukan, Polri berada di bawah institusi penegak hukum lainnya seperti Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Kinerja Polri dalam Catatan Kekerasan dan Pelanggaran HAM
Kinerja Polri yang mendapat citra buruk tidak terlepas dari catatan kasus kekerasan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Faktanya, Amnesty International Indonesia melaporkan setidaknya 17 kasus pembunuhan di luar hukum melibatkan Polri dan TNI dalam periode Oktober-Desember 2024.
Sementara itu, Kontras mencatat angka yang lebih besar, yakni 148 kasus kekerasan hingga Januari 2025, dengan 136 kasus melibatkan kepolisian. Dalam kasus-kasus tersebut, Koordinator Kontras, Dimas Bagus Arya, menyoroti minimnya penyelesaian kasus secara adil bagi korban dari pihak Kepolisian.
Berbagai kasus kekerasan lainnya juga ikut mencoreng citra Polri. Salah satunya, adalah pembunuhan AKP Ulil Anshar oleh rekannya AKP Dadang Iskandar di Solok Selatan terkait konflik tambang ilegal. Kasus ini berujung pemecatan Dadang, namun proses hukumnya belum jelas.
Baca Juga: Mabes Polri Amankan 18 Personel Polisi Pemeras WNA Malaysia di Konser DWP
Kasus lain terjadi di Semarang, di mana seorang anggota Polrestabes menembak pelajar hingga tewas. Polri awalnya mengklaim kasus itu terkait tawuran, namun fakta media membantah klaim tersebut. Pelaku akhirnya menerima pemecatan setelah kasus viral di media sosial.
Kasus-kasus lain, seperti penolakan laporan korban kekerasan oleh Polsek Cakung dan viralnya pemerasan terhadap warga asing di konser Djakarta Warehouse Project, semakin memperburuk citra dan kinerja Polri. Akibatnya, kampanye tagar seperti “No Viral No Justice” dan “Percuma Lapor Polisi” mencuat di media sosial, mencerminkan keputusasaan dari masyarakat.
Bambang Rukminto dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) menyatakan, era media sosial telah membuka tabir praktik buruk di tubuh Polri. Ia menegaskan, reformasi mendalam diperlukan untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap institusi kepolisian.
Dengan catatan buruk kinerja Polri ini, masyarakat menanti langkah konkret pemerintahan Presiden Prabowo untuk memastikan reformasi di tubuh Polri. Tentu, dengan harapan Polri mampu meningkatkan profesionalisme dan akuntabilitas sebagai penegak hukum.
Kapolri Listyo Sigit Soroti Sentimen Negatif Terhadap Polri di Media Sosial
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengakui, bahwa sentimen negatif masyarakat terhadap Polri masih tinggi. Hal ini terlihat dari interaksi masyarakat di berbagai platform media sosial sepanjang 2024. Berdasarkan data, proporsi sentimen negatif mencapai 46 persen, yang mempengaruhi persepsi publik terhadap kinerja Polri.
Dalam rilis akhir tahun 2024, Kapolri menjelaskan bahwa evaluasi pada 2025 akan berfokus pada pengelolaan sentimen terhadap Polri di media sosial. Evaluasi ini diharapkan mampu memberikan dampak positif terhadap kinerja Polri dalam membangun hubungan baik dengan masyarakat. Sepanjang 2024, terdapat 7,12 juta interaksi publik dengan akun resmi Polri di berbagai platform digital.
Dari jumlah tersebut, interaksi terbesar terjadi di platform X atau Twitter dengan 4,86 juta. Sementara itu, kanal YouTube menyumbang 1,11 juta interaksi, diikuti oleh Instagram dengan 440,2 ribu, TikTok sebanyak 378,8 ribu, dan Facebook sebanyak 326,6 ribu.
Baca Juga: Polisi Ungkap Peran Tersangka Kasus Mafia Judol Komdigi: Alwin Kiemas sebagai Bendahara
Kapolri juga menyampaikan bahwa sentimen positif terhadap Polri hanya mencapai 2,5 juta interaksi atau 37 persen. Sementara itu, sentimen netral tercatat sebanyak 1,23 juta interaksi, setara dengan 18 persen.
“Sentimen negatif masih mendominasi, dengan jumlah 3,31 juta interaksi atau 46 persen. Ini menjadi tantangan besar bagi kami untuk memperbaiki citra Polri di mata masyarakat. Keberhasilan ini akan mencerminkan perbaikan nyata dalam kinerja Polri,” kata Jenderal Sigit.
Melalui evaluasi yang terencana, Polri berkomitmen untuk meningkatkan interaksi positif dengan masyarakat di media sosial pada 2025. Langkah ini tidak hanya ditujukan untuk memperbaiki citra, tetapi juga untuk menunjukkan peningkatan kinerja Polri dalam melayani masyarakat secara lebih baik. (Feri Kartono/R5/HR-Online/Editor: Adi Karyanto)