Perjanjian Hilful Fudhul ada sebagai penegak keadilan beserta ketertiban dalam perdagangan. Dalam sejarah Islam di zaman Jahiliyah dahulu, kezaliman terjadi di mana-mana. Mereka yang kuat, bebas melakukan apa saja, termasuk mengambil sesuatu yang bukan haknya. Menindas mereka yang lemah, hingga kemudian munculah perjanjian ini agar kezaliman tidak semakin merajalela.
Baca Juga: Peristiwa Penting di Bulan Rajab Beserta Keutamaannya
Perjanjian Hilful Fudhul dan Sejarahnya
Hilful Fudhul merupakan kesepakatan dan ikrar yang terjadi antara orang-orang yang memiliki kemuliaan (ahlul Muruah) dan pengaruh di kalangan suku Quraisy di Makkah Al Mukarramah. Perjanjian ini bertujuan untuk membela dan melindungi orang orang yang mendapat kezaliman serta mengembalikan hak-hak mereka yang dirampas oleh orang zalim.
Perjanjian ini terjadi sebelum kenabian, tepatnya 4 bulan setelah terjadinya Perang Fijar. Kala itu nabi Muhammad SAW ikut hadir dalam perjanjian tersebut meskipun masih muda belia.
Sejarah Singkat
Pada zaman dahulu, datanglah seorang laki-laki dari kabilah Zubaid ke kota Makkah dengan membawa barang dagangan. Kala itu, risalah Islam belum masuk ke dalam kota Mekkah.
‘Ash bin Waa’il as Sahmi yang merupakan pemuka Suku Quraisy membeli dagangan laki-laki tersebut. Namun, Ash bin Waa’il enggan membayar barang dagangan tersebut.
Mengetahui hal tersebut, tentu saja laki-laki dari kabilah Zubaid tadi tidak terima. Ia meminta Ash untuk mengembalikan barangnya. Bahkan, ia juga meminta tolong orang-orang suku Quraisy. Namun, tidak ada satu pun yang menolongnya dan ia malah mendapatkan hardikan dari orang-orang Quraisy.
Tak berhenti di situ sejarah adanya perjanjian Hilful Fudhul. Laki-laki dari kabilah Zubaid itu tidak patah semangat. Ia kemudian naik ke Jabal Abu Qubais ketika matahari terbit dan waktu itu bangsa Quraisy sedang berkumpul di sekitar Ka’bah.
Di sana, ia menyerukan sebuah syair tentang seseorang dari jauh yang mendapatkan kezaliman dari orang lain karena barang dagangannya dirampas. Seruan itu sampai kepada salah satu kaum Quraisy dan menyentuh hati orang Quraisy, bernama Zubair bin Abdul Muthalib.
Peran Zubair bin Abdul Muthalib dalam Perjanjian
Zubair bin Abdul Muthalib tidak terima atas perlakuan Ashi bin Wail terhadap orang dari kabilah Zubaid tersebut.
Untuk mengumpulkan kekuatan, ia kemudian mengajak beberapa pemuka dan anak anak muda dari berbagai kabilah untuk berkumpul dan membantu laki-laki dari kabilah Zubaid tersebut.
Para pemuka datang dari berbagai kabilah diantaranya dari Bani Hisyam, Bani Abdul Muthallib, Bani Asad, Bani Zahrah, Bani Tamim. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga menghadiri perjanjian tersebut. Meskipun ketika itu belum diutus menjadi Nabi dan Rasul namun beliau sudah memiliki reputasi sebagai orang yang digelari Al Amin.
Mereka berkumpul di rumah Abdullah bin Jud’an bin Amr dan membuat perjanjian kesepakatan pada bulan Dzulqa’dah untuk bersatu membantu orang yang terzalimi melawan orang yang zalim, sampai ia mengembalikan haknya. Mereka memberikan nama perjanjian itu Hilful Fudhul.
Setelah perjanjian itu dibuat, mereka berangkat menemui al ‘Ash bin Wa’il, lalu meminta barang dagangan orang Zabidi tersebut dan al ‘Ash pun kemudian menyerahkannya kepada orang tersebut.
Pelajaran dari Perjanjian Hilful Fudhul
Perjanjian ini mempunyai beberapa hal yang bisa kita jadikan pelajaran, seperti:
Baca Juga: Sejarah Perubahan Arah Kiblat dari Masjidil Aqsa Palestina ke Ka’bah Makkah
1. Menolak Perbuatan Dzalim
Kaum Muslimin sudah seharusnya menolak kezaliman dengan landasan aqidah. Sebab, ketika pembuatan perjanjian ini, risalah Islam belum masuk, mereka masih tergolong masyarakat jahiliyah.
Menolak perbuatan zalim sejalan dengan nilai-nilai fitrah manusia terlepas dari apapun kepercayaan yang dianutnya. Islam benar-benar memerintahkan umatnya untuk tidak berbuat zalim. Sehingga merupakan hal yang wajar apabila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan arti penting perjanjian tersebut.
2. Menjunjung Tinggi Budi Pekerti dan Kebaikan
Apabila tatanan sosial dalam sebuah masyarakat sudah rusak, bukan berarti kebaikan dan keluhuran budi pekerti di lingkungan tersebut hilang seluruhnya. Peristiwa Hilful Fudhul membuktikan hal tersebut.
Pada waktu itu, Kota Makkah merupakan masyarakat jahiliyah yang dipenuhi oleh penyembahan berhala (paganisme), kezaliman, zina, riba dan hal-hal lainnya yang merupakan sendi-sendi, adat dan moral masyarakat jahiliyah.
Hanya saja, dalam kondisi seperti itu, masih ada orang-orang yang menjunjung tinggi arti kehormatan dan harga diri, membenci kezaliman dan tidak membiarkan seorang pun untuk berbuat zalim.
3. Membela Orang yang Terzalimi
Perjanjian Hilful Fudhul menunjukkan bahwa Islam membenarkan adanya pembelaan bagi orang yang terzalimi dan menghalangi orang berbuat zalim.
4. Semangat Membela Kebenaran
Semangat pemuda zaman dahulu untuk ikut menolak terjadinya kezaliman patut kita teladani. Bahkan, banyak dari para pemuda yang usianya masih belasan namun bersemangat ikut terjun ke Medan perang membela kebenaran.
5. Islam, Agama dengan Nilai-Nilai Universal
Islam bukanlah sistem nilai yang tertutup dan berseberangan dengan nilai-nilai agama lain. Agama ini mengusung pesan-pesan universal yang sangat mungkin selaras dengan sumber kebaikan lain.
Baca Juga: Kisah Dzul Yadain, Pelajaran Berharga dari Lupa dalam Sholat
Demikian tadi penjelasan mengenai Perjanjian Hilful Fudhul. Semoga kita bisa mengambil pelajaran dari peristiwa tersebut dan turut serta berperan dalam memerangi kezaliman. (R10/HR-Online)