Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman suku dan budaya yang begitu besar. Sayangnya, terkadang keberagaman yang ada malah menimbulkan konflik mengancam, seperti peperangan. Mengenai hal ini, sejarah Pela Gandong hadir menjadi tradisi yang mampu mengikat tali persaudaraan antar masyarakat.
Baca Juga: Kisah Enrique Maluku, Orang Nusantara Pertama yang Mengelilingi Dunia
Sejarah Pela Gandong sebagai Sarana Perdamaian Konflik Masyarakat
Pada masa lalu, Maluku dikenal sebagai wilayah yang dilanda konflik berdarah. Namun, pertikaian tersebut akhirnya dapat berujung damai berkat tradisi Pela Gandong, sebuah tradisi yang berhasil menyatukan seluruh lapisan masyarakat.
Pela Gandong tidak hanya menjadi simbol perdamaian saja. Akan tetapi juga mempererat ikatan antar komunitas di Maluku, memungkinkan mereka untuk hidup berdampingan dalam kedamaian meski dengan latar belakang yang berbeda.
Tradisi Pela Gandong
Pada tahun 1999 hingga 2002, terjadi sebuah peperangan di wilayah Maluku. Tragedi kemanusiaan ini menjadi konflik antara umat kristen dan muslim terbesar dan terparah dalam sejarah sosial-politik Indonesia.
Penyebab pertikaian ini adalah kecenderungan primitif dan keterikatan masyarakat terhadap tradisi setempat. Hal ini semakin diperparah dengan adanya basis agama yang sangat kuat di kalangan warga setempat.
Sejarah Pela Gandong kemudian hadir sebagai sarana yang mampu menyelesaikan konflik antara warga Maluku. Pela berarti perjanjian saudara antar negara, termasuk yang berbeda agama.
Sementara Gandong berasal dari kata “kandung” yang berarti saudara. Tradisi ini hadir sebagai institusi sosial yang membentuk berbagai kedekatan, tanpa memandang perbedaan budaya, agama, maupun ekonomi.
Perjanjian Pela Gandong
Tradisi Pela Gandong terikat melalui sumpah yang sangat kuat. Bahkan, sumpah tersebut disertai kutukan bagi masyarakat yang melanggar perjanjiannya.
Dalam sejarahnya, Pela Gandong ditandai dengan adanya sumpah dari para pemimpin desa. Perjanjian ini melibatkan kegiatan “meminum darah”.
Para pemimpin meminum soppi yang bercampur dengan darah raja, kepala desa, ataupun tetua dari kedua belah pihak. Perjanjian ini berlangsung dengan mencelupkan senjata dan alat tajam ke dalam minuman tersebut.
Senjata yang telah dicelupkan, nantinya akan digunakan untuk melawan siapapun yang telah melanggar perjanjian. Tindakan ini menegaskan tali persaudaraan yang telah disepakati melalui adanya sumpah darah.
Baca Juga: Fakta Pulau Baru di Tanimbar yang Muncul Usai Gempa Maluku
Setelah upacara sumpah terlaksana, perjanjian Pela Gandong berlaku bagi kedua pihak yang mencakup beberapa hal. Pertama, masyarakat harus saling membantu dalam masa krisis, baik itu ketika terjadi peperangan ataupun bencana alam.
Kedua, masyarakat harus membantu melaksanakan kegiatan besar, baik itu pembangunan sekolah, masjid, ataupun gereja. Ketiga, masyarakat wajib memberi makanan anggota se-pela dan tidak boleh menikah terhadap sesama anggota, karena masih sedarah.
Sejarah Pela Gandong mengakar kuat dengan memainkan peranan penting dalam menjaga perdamaian masyarakat Maluku. Kehadiran tradisi ini mampu meminimalisir berbagai konflik yang mungkin terjadi, akibat perselisihan keberagaman di kalangan masyarakat.
Pelestarian Pela Gandong
Pada waktu-waktu tertentu, masyarakat mengadakan upacara bersama yang populer dengan nama Panas Pela. Upacara ini bermaksud untuk menjaga kelestarian Pela Gandong dengan mempertemukan dua wilayah yang memiliki hubungan pela.
Biasanya, upacara Panas Pela berlangsung selama satu minggu di salah satu wilayah. Kegiatan ini bertujuan untuk merayakan hubungan antar masyarakat, termasuk memperbarui sumpah yang telah berlangsung. Umumnya, Panas Pela berlangsung dengan berbagai pertunjukan seperti menyanyi, tarian tradisional, dan berbagai acara lainnya.
Hingga kini, sejarah Pela Gandong masih berperan penting, terutama di wilayah Maluku bagian tengah. Tradisi ini terus hidup di tengah masyarakat untuk menjunjung tinggi rasa persatuan dan identitas bersama.
Sejak terjadinya Perang Dunia II, muncul berbagai jenis pela baru. Misalnya, pela tampa siri antara komunitas umat islam dan kristen.
Sebagai informasi, pela tampa siri berlangsung dengan menukar dan mengunyah sirih bersama. Jenis pela ini menjadi perjanjian persahabatan, sehingga membolehkan pernikahan antar pihak terkait. Perjanjian pela tampa siri menegaskan sikap tolong menolong yang bersifat sukarela, tanpa adanya ancaman dan hukuman dari nenek moyang.
Tradisi pela tampa siri berlangsung setelah terjadinya peristiwa kecil yang tidak terlalu penting. Misalnya, memulihkan perdamaian setelah terjadi insiden ringan atau bentuk penghormatan atas jasa suatu wilayah kepada daerah lain. Jenis pela ini banyak digunakan untuk memperlancar hubungan perdagangan.
Keberadaan pela tersebut, bertujuan untuk mempererat hubungan antar umat beragama. Berkat adanya sistem pela, konflik antar umat islam dan kristen pada tahun 1998-2002 berhasil diredam.
Baca Juga: Sejarah Kerajaan Huamual, Kekuasaan di Jazirah Seram Barat
Sejarah Pela Gandong di Maluku menjadi sarana penting dalam menyatukan keberagaman masyarakat. Kehadiran pela ini, mampu meminimalisir terjadinya konflik yang mengancam, seperti peperangan. (R10/HR-Online)