Berita mengenai kejatuhan PT Sritex (Sri Rezeki Isman) akhir-akhir ini mengejutkan banyak pihak. Pasalnya dalam catatan sejarah, PT Sritex yang sudah berdiri sejak tahun 1966 itu sudah melalui pahit manisnya perjuangan industri tekstil di tanah air.
Bahkan, di masa akhir pemerintahan Suharto yang mengalami krisis moneter pun PT Sritex masih menjadi salah satu perusahaan yang bertahan di tengah krisis ekonomi tersebut.
Namun, kabar yang tidak mengenakkan tersebut menjadi pertanyaan sendiri bagi banyak orang. Di tengah perkembangan industri tekstil hari ini, apa yang membuat PT Sritex mengalami kejatuhan?
Baca Juga: Sejarah Wayang Madya, Kesenian Unik Indonesia dan Karakternya
Bukankah seharusnya PT. Sritex berkembang dan bisa bertahan di tengah kebutuhan tekstil Indonesia hari ini?
Sejarah PT Sritex, Berawal dari Pasar Klewer Solo
Mengutip laman resmi PT Sritex, perusahaan ini pertama kali didirikan oleh Haji Muhammad Lukminto pada tahun 1966. Pada awalnya perusahaan ini bergerak di Pasar Klewer Solo dengan menggunakan nama “UD Sri Redjeki”.
Haji Muhammad Lukminto sendiri lahir dengan nama Le Djie Shien pada tanggal 1 Juni 1946. Ia merupakan seorang pebisnis yang mengawali PT Sritex.
Pada tahun 1978 perusahaan ini mendirikan sebuah perusahaan di daerah Joyosuran, Solo. Perusahaan ini memproduksi kain mentah dan bahan putihan. Pada tahun 1982 perusahaan menjadi pabrik yang bergerak di bidang tenun pertama kalinya.
Pada tahun 1992 PT Sritex mengalami perkembangan dengan memperluas sektor produksinya. Beberapa sektor yang digarap waktu itu adalah pemintalan, penenunan, sentuhan akhir dan busana.
Perkembangan inilah yang membuat PT Sritex menjadi salah satu perusahaan yang bersaing di ranah global. Sejarah mencatat, pada tahun 1994 PT Sritex menjadi produsen seragam militer untuk NATO dan tentara Jerman. Selain itu, PT Sritex juga menjadi produsen dari seragam-seragam militer Tentara Nasional Indonesia.
Selamat saat Krisis Moneter
Pada masa krisis moneter tahun 1998, PT Sritex menjadi salah satu perusahaan yang berhasil bertahan. Bahkan pada tahun 2001 perusahaan ini berhasil melipatgandakan keuntungannya.
Tercatat keuntungan yang diterima waktu itu mencapai 8 kali lipat. Keuntungan ini merupakan keuntungan tertinggi sejak 10 tahun terakhir.
Baca Juga: Sejarah Pemuda Panca Marga dan Perannya Bagi Negara
Padahal pada 1997 hingga 1998 merupakan tahun-tahun puncak krisis moneter di Indonesia. kondisi ini tak hanya menyebabkan kekacauan ekonomi, melainkan juga kekacauan politik.
Mengutip dari, “Dampak Krisis Moneter Terhadap Sektor Riil” (1998), terdapat beberapa dampak yang dirasakan oleh sektor riil di Indonesia kala itu.
Dampak pertama adalah menurunnya nilai rupiah yang menyebabkan meningkatkan biaya produksi. Hal ini tentu saja membawa kekhawatiran tersendiri bagi perusahaan-perusahaan yang bergantung dari bahan baku impor.
Dampak kedua berkaitan dengan kenaikan suku bunga. Kondisi ini menyebabkan kerugian bagi perusahaan-perusahaan yang mengandalkan pinjaman kepada bank.
Selanjutnya dampak ketiga, menurunnya skala usaha oleh perusahaan menyebabkan pengurangan jumlah tenaga kerja. Kondisi ini pada akhirnya akan menyebabkan pengangguran dan menurunkan daya beli masyarakat.
Kondisi ini tentu saja memberikan dampak tersendiri bagi perusahaan-perusahaan tekstil seperti PT Sritex. Namun, pasca peristiwa tersebut PT Sritex dapat berhasil bangkit kembali.
PT Sritex Hari Ini
Memasuki tahun 2000 an sebenarnya PT Sritex berhasil mencatat pencapaian yang cukup baik. Perusahaan ini mampu bersaing pada ranah global.
Tak hanya itu, pada tahun 2012 PT Sritex ini menunjukkan kinerja dan pertumbuhan yang lebih baik daripada tahun 2008.
Pada tahun 2014 hingga tahun 2017 perusahaan ini bahkan menerima berbagai penghargaan. Tak mengherankan apabila banyak pihak yang heran jika PT Sritex hari ini mengalami kejatuhan, bahkan pailit.
Mengutip dari, “Analisis Hukum Restrukturisasi Utang Pt Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) Sebagai Solusi Penundaan Pembayaran Utang” (2024), alasan yang menyebabkan PT Sritex mengalami kebangkrutan adalah menurunnya produktivitas dan penghasilan akibat Covid-19.
Kondisi ini juga diperparah dengan hutang yang menyebabkan PT Sritex sangat sulit untuk keluar dari permasalahan yang melilitnya. Puncaknya pada 21 Oktober 2024 lalu, Pengadilan Niaga Semarang menyatakan PT Sritex pailit melalui putusan nomor 2/Pdt.Sus-Homologasi/2024/PN Niaga Smg.
Dampak putusan pailit membuat PT Sritex merumahkan sejumlah karyawannya, alasannya karena tidak ada bahan baku.
Namun, kondisi ini bukan berarti membuat perusahaan ini tidak bisa diselamatkan sama sekali. Terdapat beberapa upaya yang bisa perusahaan lakukan. Misalnya dengan restrukturisasi utang dengan cara mengubah hutang menjadi hutang jangka panjang. Tentu saja hal ini harus sesuai dengan kesepakatan antara PT Sritex dengan pemberi hutang.
Baca Juga: Sejarah Tugu Lonceng Cilebut, Situs Peninggalan Belanda
Apabila kesepakatan telah tercapai penting pula untuk melakukan pengawasan dan pemantauan terhadap kebijakan-kebijakan yang akan diambil.
Hal ini juga tidak lepas dari peran pemerintah yang dapat memberikan dukungan kepada PT Sritex untuk bangkit dari kondisi terpuruknya ini. (Azi/R7/HR-Online/Editor-Ndu)