harapanrakyat.com,- Keluarga besar Yayasan Rumah Solusi Himatera Indonesia (RSHI) menyebut tuduhan kepada pihak RSHI masih berada dalam tahap praduga. Kasus ini merujuk pada Pasal 359 tentang penelantaran yang menyebabkan kematian, namun status hukum D masih sebagai tersangka.
Salah satu keluarga besar yayasan RSHI Adi Pranyoto mengatakan, pihaknya menghormati proses hukum dan percaya bahwa kebenaran akan terungkap di Pengadilan. Mereka tetap berpikir positif dan akan menerima apapun keputusan dari proses hukum tersebut.
Namun dari sisi kemanusiaan, kata Adi, Himatera telah memberikan kontribusi positif kepada masyarakat Pangandaran, Dinas Sosial Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DinsosPMD), Satpol PP. Bahkan dinas-dinas serta masyarakat dari daerah lain menitipkan pasien ODGJ (Orang dengan Gangguan Jiwa) untuk mendapatkan perawatan dan pemulihan kesehatan kejiwaan.
Sebagai yayasan yang berdiri mandiri dan bukan bentukan pemerintah, Himatera telah memberikan kontribusi besar. “Jika wisatawan berkunjung ke Pangandaran melihat banyak ODGJ berkeliaran di tempat-tempat wisata, hal itu tentu akan memberikan nilai negatif bagi citra pariwisata daerah. Adanya RSHI kan kawasan wisata terbebas dari ODGJ yang berkeliaran. Sebab banyak yang menitipkan ke sana,” ujarnya, Jumat (17/10/25).
Keluarga Besar Yayasan RSHI Pertanyakan Alasan Penutupan Himatera
Selama ini, lanjut Adi, meskipun DinsosPMD menghadapi berbagai keterbatasan, Himatera mampu menunjukkan kinerja kemanusiaan yang luar biasa. Sebab, RSHI ini beroperasi secara mandiri, tanpa subsidi, namun berhasil melaksanakan tugas kemanusiaan dengan maksimal. Bahkan banyak penerima manfaat ODGJ yang tertolong.
Dengan adanya kasus ini, pihaknya mempertanyakan penutupan ini apakah karena adanya permintaan pihak-pihak yang tidak menyukai yayasan tersebut? ataukah harus dipertahankan berdasarkan pertimbangan kemanusiaan. “Kebayang tidak, tanpa bantuan sifatnya wajib dan mereka bisa menjaga keberlangsungan Himatera itu luar biasa,” imbuhnya.
Saat ini, sambungnya, D yang merupakan penanggung jawab Himatera berstatus sebagai tersangka setelah adanya laporan seseorang. Namun, ia mengajak semua pihak untuk bersikap positif dan tidak menjatuhkan vonis atau menjustifikasi bahwa D adalah seorang pembunuh.
Ia juga mengingatkan bahwa semua masih berstatus praduga berdasarkan ikhtisar pemeriksaan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dari Penyidik Polres Pangandaran. Sedangkan Pengadilan yang akan menentukan hasil akhirnya.
Sementara itu, pihaknya juga menyayangkan tindakan konten kreator dan orang-orang yang tidak mengetahui kondisi Himatera secara persis, bahkan belum pernah melakukan tabayyun atau kunjungan, namun berani mengeluarkan pernyataan yang bertolak belakang dengan kondisi sesungguhnya di RSHI.
“Kami menampik keras isu yang mem-framing seolah-olah pasien di Himatera tidur di atas jerami, tidak mendapatkan makan selama tiga bulan, atau mempekerjakan secara paksa seperti pekerja rodi,” tegasnya.
Kondisi RSHI
Kondisi di RSHI, lanjut Adi, justru berbanding terbalik dengan tuduhan tersebut. Sebab, dari sisi tempat sudah sangat layak, kebersihannya terjaga, dan asupan makanan bergizi telah dicek oleh Dinsos Provinsi serta DPRD Komisi IV. Selain itu, tempat istirahat juga memadai dan menunjang kesehatan serta kejiwaan pasien, dan mereka tidak seperti pekerja rodi.
Baca juga: 92 Pasien ODGJ di Himatera Pangandaran akan Dipulangkan ke Daerah Masing-Masing
Sementara itu, Himatera mendorong pasien agar bisa berekspresi secara mandiri dan berkarya. Hal ini agar ketika mereka kembali ke keluarganya sudah memiliki keterampilan dan tidak mengalami kejenuhan di lingkungan rumah mereka.
“Pasien yang memiliki hobi bermain alat musik akan mendapat pelatihan. Salah satu contoh alumni, ada yang kini mampu memproduksi dan menjual seruling secara daring maupun menitipkan ke toko. Ini membuktikan bahwa mereka kembali ke masyarakat dengan sesuatu yang dapat kita banggakan dan menghasilkan,” jelasnya.
Begitu juga pasien yang memiliki hobi beternak atau di bidang bangunan juga diberdayakan dan diikutsertakan dalam pekerjaan pembangunan. Adi menyebut, banyak ODGJ yang dititipkan di Himatera justru tidak mendapat perhatian dari keluarganya. Bahkan, beberapa orang tua dan Kepala Desa menolak tegas agar pasien tidak dikembalikan ke daerahnya karena khawatir meresahkan, mengganggu, dan mengkhawatirkan. Kondisi ini secara tidak langsung menyebabkan jumlah ODGJ di Himatera bertambah banyak.
Sementara soal isu larangan membesuk, Adi menjelaskan bahwa aturan tersebut hanya berlaku untuk pasien yang berstatus Dalam Pengawasan Khusus (DPK). Pasien DPK tidak boleh terkontaminasi dengan orang luar agar proses penataan kejiwaan dapat berjalan maksimal, sesuai keahlian D.
Sementara itu, pasien yang sudah mandiri atau mampu berkarya, bebas kapan pun mendapatkan kunjungan dari pihak keluarga selagi tidak mengganggu kestabilan kejiwaan mereka.
Kritik Dinsos PMD
Ketika ada pasien meninggal di rumah sakit, kata Adi, tuntutannya tidak serumit yang terjadi saat ada pasien meninggal di RSHI. Rangkaian masalah ini menjadi panjang dan seolah-olah kematian tersebut merupakan unsur kesengajaan atau kelalaian pengurus, hal ini perlu dikaji ulang.
“Kami mengkritik tindakan DinsosPMD yang mengeluarkan surat edaran kepada dinas-dinas di Jawa Barat dan luar Jawa Barat untuk mengambil kembali ODGJ yang dititipkan di Himatera. Keputusan ini sangat prematur karena status hukum pengurus Yayasan Himatera baru sebatas tersangka, bukan terpidana yang wajib mengikuti putusan pengadilan,” tegasnya.
Keputusan itu, kata Adi, mungkin jalan terbaik menurut dinas, namun surat edaran tersebut berpotensi melukai banyak perasaan. Ia juga menyayangkan bahwa yayasan Himatera tidak mengetahui adanya surat edaran itu, justru mengetahuinya dari daerah lain.
Ia pun berharap semua pihak, termasuk pemerintah daerah, Bupati, dan DPRD, dapat membantu Himatera yang telah memberikan kontribusi positif dalam menangani permasalahan sosial terkait ODGJ di Pangandaran. Ia juga meminta doa dan dukungan dari seluruh Dinas Sosial di Jawa Barat, bahkan untuk pasien dari luar Jawa Barat.
“Kami tidak merasa telah melakukan kesalahan fatal seperti tuduhan yang ramai saat ini. Kami berharap bisa menyikapi proses hukum ini dan membuktikan kebenaran di Pengadilan. Saat ini, kami merasa terbebani oleh opini masyarakat dan berita miring buzzer murahan, yang sengaja menciptakan narasi bertolak belakang dengan kondisi nyata yayasan RSHI,” pungkasnya. (Mad/R6/HR-Online)