Sidang Kasus Dugaan Korupsi di ASDP, Mantan Wakil Ketua KPK Soroti Pasal 2 dan 3 UU Tipikor

7 hours ago 6

harapanrakyat.com,- Mantan Wakil Ketua KPK Amien Sunaryadi memberikan keterangan dalam sidang kasus dugaan korupsi akuisisi PT Jembatan Nusantara oleh PT ASDP Ferry Indonesia. Sidang tersebut berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jumat (17/10/2025).

Dalam sidang Amien menyoroti penggunaan pasal 2 dan 3 pada UU Nomor 31 tahun 1999 juncto UU Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan Tipikor (Tindak Pidana korupsi). Menurutnya, pasal tersebut membuat pemberantasan korupsi di Republik Indonesia jalan di tempat.

Menurutnya, pada pasal itu, disebutkan dua jenis korupsi berbeda. Dalam pasal 2 mengatur tentang tindakan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi yang mengakibatkan kerugian keuangan negara. Sementara Pasal 3 menyoroti penyalahgunaan wewenang, kesempatan, atau sarana jabatan untuk memperoleh keuntungan pribadi maupun pihak lain yang berpotensi merugikan keuangan negara.

“Kalau ada pasal ini, tidak ada harapan perbaikan untuk pemberantasan korupsi. Sejak 2004 KPK didirikan sampai sekarang, korupsi di Indonesia kita lihat tidak berkurang,” ujarnya saat menanggapi pertanyaan dari Ira Puspadewi, Harry MAC dan M Yusuf Hadi, pembelajaran hukum terdakwa mantan direksi ASDP.

Dalam kesempatan ini, pembela menantakan tentang simpang siur penetapan kerugian negara di kasus dugaan korupsi ASPD. Kerugian itu dihitung sendiri oleh Tim JPU KPK. Padahal dalam aturan SEMA Mahkamah Agung No 4 tahun 2016, menegaskan hanya BPK yang berwenang menetapkannya, atau hakim di persidangan.

Kerugian Negara Kasus Dugaan Korupsi ASDP Rp 1,253 Triliun

Menurut penghitungan yang dilakukan jaksa KPK, kerugian negara mencapai Rp 1,235 triliun. Padahal, dalam akuisisi ASDP tersebut telah diawasi oleh berbagai pihak, yakni BPK, BPKP, Jaksa Agung Muda bidang Tata Usaha Negara hingga Menteri BUMN. Mereka semua menyatakan tidak terdapat kerugian negara.

Amien menegaskan, ketentuan tentang “merugikan keuangan negara” merupakan ciri yang hanya ada dalam hukum Indonesia. Menurutnya, lembaga antikorupsi di negara lain seperti Australia, Malaysia, dan Hong Kong tidak mengenal klausul tersebut. Akibatnya, ketika Indonesia bekerja sama dengan negara lain dalam penanganan kasus korupsi lintas batas, sering kali muncul kendala karena pasal itu tidak ada dalam hukum negara mereka.

Baca Juga: Kasus Dugaan Korupsi ASDP, Rhenald Kasali Kritik Cara Jaksa Hitung Kerugian Negara

“Kita tak dapat menangkap dan juga menyita hartanya di luar negeri lewat perjanjian internasional. Mereka bilang itu tidak ada dalam hukum pidananya. Yang ada adalah klausul suap (bribery),” ucapnya.

“Jadi salah kalau korupsi itu hanya dilihat dari klausul merugikan negara. Pasal tersebut perlu dihapus karena tidak efektif dalam memberantas korupsi. Kalau pun masih digunakan harus jelas adanya niat jahat (mens rea),” tuturnya.

Pro Kontra Pasal 2 dan 3 UU Tipikor

Amien menyebut, banyak pengamat hukum lain pun melihat pasal tersebut sering disalahgunakan. Bahkan menjadi “pasal karet” yang kerap digunakan untuk menjerat seseorang. Sejak UU No 31 tahun 1999 diberlakukan, penerapan pasal 2 dan 3 memunculkan pro kontra. Terutama kaitan risiko kriminalisasi kebijakan yang mehguraman kerugian negara daripada niat jahat. Hal ini lah yang membuat khawatir pejabat publik dan juga BUMN saat mengambil keputusan strategis demi kepentingan rakyat.

Untuk itu, Amien dan 11 tokoh lain meminta supaya pasal 2 dan 3 dicabut. KPK lebih fokus kepada kasus suap dan gratifikasi seperti negara lain.

Amien menilai, penerapan Pasal 2 dan 3 membuat banyak pejabat BUMN tidak berani mengambil langkah inovatif karena takut dikriminalisasi. Kondisi ini, justru menghambat pertumbuhan ekonomi nasional. Ia mencontohkan di Pertamina, yang sebenarnya mengetahui adanya 128 potensi cekungan minyak dan gas di Indonesia. Namun untuk mengeksplorasinya dibutuhkan proses pengeboran, di mana dari 10 sumur yang digali biasanya hanya tiga yang menghasilkan, sementara tujuh lainnya gagal. Meski demikian, hasil dari tiga sumur yang sukses sebetulnya cukup untuk menutupi kerugian dari yang gagal.

“Pejabat BUMN tidak mau ngebor karena takut dikiriminalisasi. Aparat hukum hanya fokus pada 7 sumur yang dinilai merugikan negara. Pertamina takut untuk ngebor dan pilih impor minyak, terakhir tahun 1967,” ungkap Amien yang merupakan mantan Ketua SKK Migas.

Jawaban Amien dari Pertanyaan Hakim Soal Kasus Dugaan Korupsi ASDP

Dalam sidang Ketua Majelis Hakim Sunoto bertanya kepada Amien tentang kasus ASDP. Bagaimana sebaiknya kasus tersebut, kembali dilakukan penyelidikan atau diteruskan ke dalam gugatan perdata atau pidana.

“Apakah dilakukan kembali penyelidikan atau diteruskan ke gugatan perdata atau pidana?,” tanya hakim.

Amien pun menjawab dengan menceritakan saat menjadi pimpinan KPK tahun 2004. Menurutnya semua kasus yang diangkat ke pengadilan diptuskan bersama 5 pimpinan KPK. Sehingga, dalam kasus ASDP, menurutnya harus kembali dilakukan penyelidikan.

Kemudian Hakim menyela dengan menanyakan soal chat yang disedot dari whatsapp yang seolah-olah ada pengkondisian harga. Dalam hal ini, Amien menjawab, mengaku dulu merupakan audit forensik.

“Harus dilihat dari chat itu apakah ada kata yang berisi soal suap dan juga kickback. Kalau chat biasa pembeli dan penjual tentu itu wajar,” tuturnya. (R9/HR-Online/Editor-Dadang)

Read Entire Article
Perayaan | Berita Rakyat | | |