harapanrakyat.com,- Tim kuasa hukum mantan direksi PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) menilai tuntutan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap kliennya tidak mencerminkan fakta-fakta yang terungkap selama persidangan. Mereka menyebut isi tuntutan kasus korupsi ASDP itu identik dengan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) sebelum sidang dimulai. Jaksa dinilai tidak mempertimbangkan kesaksian dan bukti yang justru membantah dakwaan.
Dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (30/10/2025), mantan Direktur Utama ASDP Ira Puspadewi dituntut hukuman delapan tahun enam bulan penjara dan denda Rp500 juta subsider empat bulan kurungan. Dua mantan direksi lainnya, M Yusuf Hadi dan Harry M.A.C, juga dituntut masing-masing delapan tahun penjara dengan denda serupa.
Jaksa menilai ketiganya bersalah melakukan korupsi dalam proses akuisisi PT Jembatan Nusantara (JN) oleh ASDP. Jaksa menyebut perbuatan ketiga terdakwa menyebabkan kerugian negara hingga Rp1,253 triliun. Namun, menurut kuasa hukum terdakwa, baik Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) maupun Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) tidak pernah menyatakan adanya kerugian negara dalam aksi korporasi tersebut.
“Isi tuntutan yang dibacakan jaksa sama persis dengan BAP. Artinya, seluruh fakta persidangan yang membantah data jaksa diabaikan begitu saja,” kata pengacara terdakwa, Soesilo Ariwibowo, usai sidang.
Baca Juga: Sidang Kasus Korupsi ASDP: BPK Nilai Akuisisi PT JN Wajar, Hanya Dua Kapal yang Dikecualikan
Tuntutan Jaksa dalam Kasus Korupsi ASDP Dinilai Janggal
Soesilo menilai jaksa tidak mampu membantah fakta yang muncul di persidangan dan malah menuduh terdakwa berbelit-belit. Ia juga menyoroti kejanggalan perhitungan kerugian negara yang diklaim mencapai Rp1,253 triliun.
“Kalau benar begitu, berarti nilai PT Jembatan Nusantara hanya Rp19 miliar. Masuk akal tidak?” ujarnya.
Padahal, menurut Soesilo, akuisisi tersebut telah disetujui Komisaris dan Menteri BUMN pada Februari 2022. Bahkan, menurutnya, setelah akuisisi pendapatan ASDP melonjak dari Rp2,2 triliun pada 2021 menjadi Rp3,29 triliun pada 2023.
Beberapa saksi di persidangan juga menyebut kerja sama usaha dan akuisisi itu justru menguntungkan perusahaan. “Komisaris hadir dan menyetujui penandatanganan kerja sama,” kata mantan Direktur SDM dan Layanan Korporasi ASDP, Wing Antariksa.
Saksi lainnya, Christine Hutabarat, yang merupakan mantan Direktur Perencanaan dan Pengembangan ASDP, menegaskan bahwa kerja sama usaha (KSU) tersebut justru memberikan keuntungan bagi ASDP.
“KSU menguntungkan bagi ASDP,” ujar Christine saat bersaksi dalam persidangan pada 7 Agustus 2025.
Sidang kasus ini akan berlanjut dengan agenda pembacaan pledoi atau nota pembelaan pada 6 November 2025. Tim kuasa hukum berharap majelis hakim mempertimbangkan seluruh fakta persidangan, bukan hanya dakwaan yang mereka nilai “copy-paste” dari BAP.
Sementara itu, dalam sidang tuntutan kasus korupsi ASDP, Jaksa Penuntut Umum dari KPK menyebut, hal yang meringankan terdakwa yakni sikap sopan selama persidangan dan belum pernah memiliki catatan hukum sebelumnya. Sementara faktor yang dianggap memberatkan adalah karena terdakwa tidak mengakui perbuatannya serta dinilai berbelit-belit dalam memberikan keterangan.
Baca Juga: Dianggap Pelopor Reformasi dan Transparansi, Eks Direksi ASDP yang Dituding Korupsi Dibela Anak Buah
Jaksa menilai, terdakwa kasus ASDP terbukti melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terkait proses akuisisi tersebut. (R7/HR-Online/Editor-Ndu)

5 hours ago
6

















































